Oleh : Novi Kartika (Mahasiswa ISBI Aceh)
Aceh, sebuah provinsi di ujung barat Indonesia, tidak hanya dikenal karena kekayaan sejarah dan nilai-nilai religiusnya, tetapi juga karena warisan budaya yang sangat beragam. Salah satu warisan yang menjadi kebanggaan masyarakat Aceh adalah seni tari tradisional. Tari-tari seperti Saman, Seudati, Rateb Meuseukat, dan Likok Pulo tidak hanya menjadi media ekspresi estetika, melainkan juga simbol spiritualitas, nilai-nilai adat, dan kearifan lokal masyarakat Aceh. Namun, di tengah derasnya arus modernisasi dan komersialisasi, muncul pertanyaan penting: Apakah tari Aceh sedang beradaptasi demi kelangsungan hidupnya, ataukah ia tengah digerus oleh tuntutan pasar yang kian mendesak.
Modernisasi dan globalisasi telah menjadi dua kekuatan utama yang membentuk arah perkembangan seni pertunjukan masa kini, termasuk tari tradisional Aceh. Tari-tari yang dulunya hanya dipentaskan dalam konteks seremonial, keagamaan, atau perayaan adat, kini mulai tampil dalam berbagai panggung yang bersifat komersial: festival pariwisata, kompetisi seni pertunjukan, hingga acara promosi produk atau kegiatan institusi. Dalam konteks ini, seni tari Aceh mengalami transformasi dari ekspresi budaya yang sakral menjadi komoditas hiburan yang harus menarik, singkat, dan mudah dipahami penonton luas.
Transformasi ini bisa dilihat dari penyederhanaan struktur tari, pemangkasan durasi pertunjukan, hingga modifikasi kostum dan iringan musik. Tari Saman, misalnya, yang awalnya memiliki struktur syair yang panjang dan tempo gerak yang bertahap naik, kini sering ditampilkan dalam versi kilat yang hanya menekankan pada gerakan cepat dan sinkronisasi ekstrem. Tidak jarang pula gerakan tradisional dimodifikasi menjadi lebih atraktif agar mencuri perhatian penonton global, walau dengan risiko mengaburkan makna filosofis di balik tiap gerakannya.
Di satu sisi, komersialisasi ini membawa dampak positif. Tari Aceh kini tidak hanya dikenal di kalangan lokal, tetapi juga di panggung internasional. Kesenian ini menjadi bagian dari diplomasi budaya Indonesia dan berperan dalam mendongkrak sektor pariwisata Aceh. Peningkatan minat terhadap tari Aceh juga mendorong munculnya sanggar-sanggar seni baru, membuka peluang kerja bagi para seniman, serta memberikan ruang kreativitas yang lebih luas bagi generasi muda untuk mengekspresikan identitas budayanya.
Namun di sisi lain, terdapat kekhawatiran yang tidak bisa diabaikan. Komersialisasi yang dilakukan secara serampangan bisa mengikis substansi budaya yang terkandung dalam tarian tradisional. Ketika orientasi utama adalah kepuasan pasar dan estetika hiburan semata, maka elemen-elemen sakral, nilai moral, bahkan struktur gerak yang mengandung narasi historis bisa terpinggirkan. Tradisi, dalam hal ini, rentan mengalami pemiskinan makna.
Fenomena ini menunjukkan bahwa tari Aceh berada di persimpangan antara dua kutub ekstrem: pelestarian dan eksploitasi. Maka, yang dibutuhkan bukanlah penolakan terhadap perubahan, tetapi pencarian titik keseimbangan yang bijak. Tradisi tidak harus beku dan anti terhadap perubahan. Justru, tradisi yang mampu beradaptasi secara cerdas akan memiliki peluang lebih besar untuk bertahan dan berkembang di tengah tantangan zaman.
Untuk itu, ada beberapa langkah strategis yang dapat ditempuh. Pertama, pendidikan budaya harus diperkuat, baik di lingkungan formal seperti sekolah dan kampus, maupun dalam ranah informal seperti sanggar seni dan komunitas budaya. Pendidikan ini tidak hanya mengajarkan teknik menari, tetapi juga menggali pemahaman tentang filosofi, sejarah, dan nilai sosial dari setiap tarian. Generasi muda harus dipupuk dengan kesadaran bahwa menari bukan hanya soal gerak, tetapi juga tentang melanjutkan narasi leluhur.
Kedua, pemerintah perlu mengambil peran aktif dalam membuat regulasi dan kebijakan yang mendukung pelestarian tari tradisional. Regulasi ini bisa berupa standar perlindungan terhadap bentuk asli tarian dalam konteks tertentu, misalnya saat tampil dalam acara adat atau festival budaya. Selain itu, pemerintah juga bisa memberikan insentif bagi sanggar yang konsisten mempertahankan bentuk otentik tarian, serta mendorong kolaborasi antara seniman tradisional dengan kreator konten digital untuk mendokumentasikan dan mempromosikan tari Aceh secara lebih luas.
Ketiga, penting untuk mengembangkan klasifikasi tari berdasarkan konteks penggunaannya. Misalnya, membedakan antara tari yang ditampilkan untuk keperluan edukasi dan pelestarian dengan tari yang telah mengalami inovasi untuk keperluan hiburan atau komersial. Klasifikasi ini dapat memberikan ruang yang jelas bagi kreativitas, tanpa mengorbankan keaslian.
Keempat, pengarsipan dan digitalisasi tari tradisional menjadi langkah yang tidak bisa ditunda. Arsip digital dalam bentuk video, narasi, hingga studi akademik bisa menjadi basis data yang kuat untuk referensi masa depan. Dengan digitalisasi, generasi mendatang tetap dapat mengakses bentuk-bentuk asli tari Aceh, memahami konteksnya, dan menggunakannya sebagai sumber belajar yang terpercaya.
Kelima, sektor pariwisata budaya perlu dikembangkan dengan pendekatan yang etis dan edukatif. Tari Aceh bisa menjadi daya tarik utama dalam paket wisata budaya yang mengedepankan pengalaman autentik. Wisatawan bukan hanya menonton, tetapi juga diberi pemahaman tentang sejarah dan nilai-nilai di balik setiap tarian. Model ini tidak hanya memperkuat nilai ekonomi, tetapi juga memperluas wawasan budaya masyarakat global tentang Aceh.
Dalam menghadapi arus komersialisasi, kunci utamanya adalah kesadaran kolektif bahwa tari Aceh bukan hanya produk seni yang dipertontonkan, tetapi juga warisan budaya yang harus dirawat dengan penuh tanggung jawab. Jika pelestarian dan inovasi mampu berjalan berdampingan, maka tari Aceh akan tetap hidup dan bermakna, bukan hanya sebagai tontonan, tetapi sebagai identitas yang tak lekang oleh waktu.
Pada akhirnya, pertanyaan “Komersialisasi Tari Aceh: Tradisi yang Beradaptasi atau Tergerus?” akan terjawab dari bagaimana kita semua seniman, akademisi, masyarakat, dan pemerintah menyikapi perubahan ini. Apakah kita hanya mengejar tepuk tangan penonton, ataukah juga mendengar bisikan arif dari sejarah dan leluhur kita sendiri?