class="wp-singular post-template-default single single-post postid-140738 single-format-standard wp-custom-logo wp-theme-kobaran" >

Menu

Mode Gelap
Hamas-Israel Sepakati Gencatan Senjata 60 Hari YARA Gugat Kemendagri Terkait Beralihnya 4 Pulau di Aceh Singkil ke Wilayah Sumut Wagub Luncurkan Inovasi Layanan Samsat Aceh dan Insentif Pajak Kendaraan Bagi Disabilitas Agus Buntung Divonis 10 Tahun Penjara, Denda Rp 100 Juta Koordinator GeRAK Bireuen : Masyarakat Sipil Harus Dilibatkan dalam Pembangunan Daerah

OPINI · 28 May 2025 14:49 WIB ·

Seni Tari dalam Perubahan Zaman


 Nurul Fakrah Perbesar

Nurul Fakrah

Oleh: Nurul Fakrah (Mahasiswa ISBI Aceh)

TARI merupakan salah satu bentuk seni paling ekspresif dan dinamis dalam khazanah kebudayaan Nusantara. Ia bukan hanya sekadar hiburan, melainkan juga medium komunikasi budaya, spiritualitas, bahkan bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan. Dalam realitas sosial masyarakat Indonesia, tari memiliki akar yang dalam, menyatu dengan ritus, nilai, dan identitas kolektif. Namun, seperti halnya semua bentuk kebudayaan, tari juga tidak lepas dari gelombang perubahan zaman. Globalisasi, kemajuan teknologi, dan dinamika sosial telah menggeser lanskap seni tari secara signifikan.

Fenomena ini menimbulkan perdebatan panjang, antara yang melihatnya sebagai kemajuan, dan yang menganggapnya sebagai kemerosotan. Maka, penting kiranya kita menimbang ulang, apakah perubahan dalam seni tari merupakan bentuk evolusi yang sehat, atau justru ancaman terhadap keaslian budaya.

Dalam sejarahnya, tari senantiasa berubah mengikuti perkembangan masyarakat. Dalam masyarakat agraris, tari menjadi bagian dari ritual kesuburan, persembahan kepada dewa-dewi, atau bentuk penghormatan terhadap alam semesta. Di masa kerajaan, tari berkembang menjadi simbol kekuasaan dan keagungan, seperti terlihat dalam Tari Bedhaya dan Serimpi di lingkungan keraton Jawa. Pada masa penjajahan dan awal kemerdekaan, tari diangkat sebagai instrumen diplomasi budaya serta simbol identitas nasional yang membedakan Indonesia dari dunia kolonial.

Memasuki era modern, terutama pasca-reformasi dan dalam iklim digital yang serba cepat, perubahan dalam dunia tari terasa begitu masif dan dramatis. Modernisasi membawa tari pada persimpangan antara kelestarian dan relevansi, antara akar budaya dan ekspresi kekinian.

Salah satu perubahan paling mencolok adalah transformasi fungsi tari dari yang sakral menjadi profan, dari ritual menuju pertunjukan, dari spiritual menuju komersial. Banyak tari tradisional kini dikemas ulang menjadi suguhan visual yang atraktif, durasinya dipersingkat, geraknya disederhanakan, dan maknanya dipangkas demi efisiensi panggung.

Misalnya, Tari Piring dari Minangkabau, yang dahulu dilakukan sebagai bagian dari upacara adat, kini lebih sering tampil dalam ajang hiburan pariwisata dengan tempo cepat dan penuh atraksi. Ada pula Tari Kecak Bali yang tampil berulang kali setiap malam untuk turis, jauh dari fungsi religius yang mengiringi ritus di pura. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana tarian tradisional harus beradaptasi dengan selera pasar, meski terkadang harus mengorbankan esensi.

Bersamaan dengan itu, kita juga menyaksikan berkembangnya genre tari kontemporer. Ia hadir sebagai bentuk kebebasan berekspresi, sering kali mencampurkan unsur tradisional dengan gerak modern, bahkan eksperimental. Tari kontemporer menjadi ruang bagi para koreografer untuk menyuarakan isu-isu aktual, lingkungan, politik, gender, identitas. Namun, di tengah ekspansi kebebasan ini, muncul kekhawatiran, apakah eksplorasi tersebut tetap berpijak pada nilai-nilai budaya lokal ataukah telah tercerabut dari akar sejarahnya

Perubahan bentuk dan fungsi tari tidak bisa dilepaskan dari risiko kehilangan makna simbolik. Sebab tari bukan hanya soal gerak tubuh, melainkan juga menyimpan filsafat hidup, nilai-nilai sosial, serta dimensi spiritual. Setiap pola gerak, nyanyian, dan iringan dalam sebuah tarian mengandung pesan yang lebih dalam daripada yang tampak di permukaan.

Sebagai contoh, Tari Saman dari Gayo, Aceh. Lebih dari sekadar pertunjukan kompak dan ritmis, Tari Saman merupakan representasi nilai kekompakan, kebersamaan, dan pengabdian kepada Sang Khalik. Jika geraknya dipersingkat, lagunya diubah, dan konteks budayanya diabaikan, maka yang tersisa hanyalah tarian tanpa jiwa.

Tantangan lain adalah komersialisasi tari yang dibungkus dalam budaya viral di media sosial. Tarian menjadi sekadar konten visual, kehilangan konteks dan makna. Estetika mendominasi, sementara nilai dan filosofi budaya semakin terpinggirkan. Bahkan, beberapa tarian tradisional Indonesia sempat diklaim oleh negara lain, karena lemahnya dokumentasi dan pengakuan hukum budaya kita sendiri.

Teknologi digital sejatinya membuka ruang besar bagi revitalisasi tari. Generasi muda dapat mengenal ragam tari Nusantara melalui YouTube, TikTok, atau Instagram. Komunitas tari kini mampu menjangkau audiens yang lebih luas, bahkan lintas negara, hanya dengan sentuhan jari.

Di sisi lain, budaya digital yang serba cepat dan instan kerap melahirkan proses pembelajaran yang dangkal. Tari, yang sejatinya membutuhkan waktu, ketekunan, dan penjiwaan, kini direduksi menjadi gerakan cepat untuk konten berdurasi 30 detik. Pemahaman filosofis dan nilai spiritual semakin sulit tertanam dalam proses pembelajaran digital yang tergesa-gesa.

Globalisasi membawa dua wajah: ia membuka kolaborasi budaya yang produktif, namun juga membuka celah asimilasi yang membahayakan karakter lokal. Di satu sisi, kolaborasi lintas bangsa bisa memperkaya khazanah tari Indonesia. Di sisi lain, tarian lokal rentan kehilangan identitas karena harus menyesuaikan diri dengan selera pasar global yang cenderung homogen.

Tantangan ini perlu disikapi dengan kebijakan budaya yang progresif. Negara dan lembaga kebudayaan tidak boleh berdiam diri. Dokumentasi, penelitian, pengajaran, dan regenerasi penari tradisi harus digalakkan secara sistematis. Pendidikan seni tidak hanya mengajarkan teknik, tapi juga menanamkan pemahaman budaya, nilai, dan tanggung jawab terhadap warisan leluhur.

Perubahan adalah keniscayaan. Tapi perubahan yang berakar pada kesadaran budaya akan membentuk kekuatan baru, bukan kerusakan. Oleh karena itu, pendekatan kritis, edukatif, dan kolaboratif perlu terus dikembangkan dalam dunia seni tari. Koreografer, penari, pendidik seni, dan pemangku kebijakan harus bergandengan tangan menjaga keseimbangan antara inovasi dan pelestarian.

Kritik terhadap arah perkembangan seni tari bukanlah bentuk konservatisme kaku. Justru kritik adalah cara untuk memastikan bahwa setiap langkah ke depan tetap membawa cahaya dari masa lalu. Inovasi bukan berarti memutus sejarah, melainkan merajutnya dalam bentuk yang lebih relevan bagi zaman.

Sebagai penutup, kita menyadari bahwa pusaran perubahan zaman yang kian cepat, seni tari tetap memegang peran penting dalam menjaga jati diri bangsa. Ia adalah cermin peradaban, penutur sejarah, sekaligus penyambung harapan. Jika dijaga dan dikembangkan dengan bijak, tari akan tetap hidup, bukan sebagai artefak museum, tetapi sebagai denyut nadi budaya yang terus menari bersama waktu.

Artikel ini telah dibaca 22 kali

badge-check

Penulis

Comments are closed.

Baca Lainnya

Meuseuraya Akbar 2025; Langkah Konstruktif Membangun Seni dan Budaya

30 May 2025 - 06:18 WIB

Bupati dan Walikota se-Aceh Perlu Segera Bentuk Dewan Syariah Kabupaten/Kota untuk Dukung Koperasi Merah Putih Syariah

29 May 2025 - 16:42 WIB

Komersialisasi Tari Aceh: Tradisi yang Beradaptasi atau Tergerus?

28 May 2025 - 14:54 WIB

Bicara Masa Depan Bahasa Aceh: Menyelamatkan yang Tersisa, Menumbuhkan yang Terlupa

23 May 2025 - 20:51 WIB

Seni; Antara Pilihan dan Kebetulan

21 May 2025 - 21:23 WIB

Tari Rateb Meuseukat; Pentingkah untuk Dilestarikan?

21 May 2025 - 20:37 WIB

Trending di OPINI