RAKYAT ACEH | BANDA ACEH – Lembaga Pendampingan Hukum Sumatera Environmental Initiative (SEI) mendesak Kepolisian Daerah (Polda) Aceh untuk segera menuntaskan kasus dugaan perbudakan terhadap anak buah kapal (ABK) asal Aceh yang bekerja di kapal perikanan berbendera asing.
“Jadi memang kasus ini sudah kita dampingi sejak tahun 2022. Banyak anak-anak Aceh yang menjadi korban kerja paksa di atas kapal perikanan berbendera asing,” kata Peneliti Kebijakan SEI sekaligus tim kuasa hukum korban, Crisna Akbar, Selasa (21/1).
Crisna mengungkapkan bahwa sebanyak 43 orang tercatat sebagai korban dalam kasus ini, dengan 12 di antaranya telah memberikan keterangan di Polda Aceh. Namun, pihaknya sebenarnya menemukan lebih dari seratus orang yang mengalami eksploitasi di atas kapal.
Ia menyebutkan sebahagian korban berasal dari alumni sekolah kejuruan di Lhokseumawe dan Aceh Besar, serta direkrut dari jalur umum yang datanya dimanipulasi seolah-olah mereka adalah lulusan sekolah kejuruan.
“Dan korban memang langsung ditempatkan sebagai pekerja di kapal perikanan berbendera asing,” tambahnya.
Di sisi lain, Crisna menyampaikan bahwa sekolah seharusnya tidak memiliki kewenangan untuk merekrut atau menempatkan siswanya ke perusahaan. Namun, penempatan tetap terjadi melalui memorandum of understanding (MoU) dengan perusahaan manning agency ilegal. Dan Crisna mempertanyakan keterlibatan pihak sekolah yang menjadi pintu masuk perbudakan ini.
“Selama bekerja, para korban mengalami eksploitasi berat. Mereka dipekerjakan selama 16 hingga 20 jam sehari, disiksa, tidak diberi makanan layak, dan gaji mereka tidak dibayarkan,” bebernya.
“Selama satu tahun, kurang lebih mereka dieksploitasi. Bahkan mereka diberangkatkan dan dipulangkan melalui jalur ilegal,” sambung Crisna.
Crisna menyebutkan, laporan resmi pertama terkait kasus ini diajukan pihaknya pada November 2023. Namun, dari empat laporan polisi yang disiapkan, hanya satu laporan yang diterima oleh SPKT (Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu) Polda Aceh.
“Pada saat itu, tiga laporan lainnya yang tidak saling berkaitan ternyata tidak diterima,” kata Crisna.
Dikatakan Crisna, proses penyidikan pun berlangsung lambat, dengan minimnya transparansi terhadap korban dan tim kuasa hukum. “Hampir enam sampai tujuh bulan perkara berjalan, kami tidak pernah menerima SP2HP dari penyidik, baik itu sebagai tim kuasa hukum maupun dari korban,” jelasnya.
Pada Mei 2024, lanjut Crisna, penyidik menginformasikan bahwa kasus ini dilimpahkan ke Polda Jawa Tengah dan ke Polresta Bekasi, sementara dua kasus lainnya dihentikan. Keputusan ini menuai keberatan dari SEI.
“Kami menyampaikan keberatan dan melaporkan ke Propam. Dari hasil pemeriksaan Propam, ternyata ada klaim bahwa telah dilakukan gelar perkara, namun sebenarnya tidak ada gelar perkara yang terjadi,” ungkap Crisna.
Pada Desember 2024, kata Crisna, SEI bersama korban melakukan aksi untuk menuntut kejelasan penyidikan. Aksi tersebut diterima oleh Kabid Propam, yang kemudian mengeluarkan rekomendasi agar pengawasan penyidikan dilakukan oleh Bawasdik. Namun, menurut Crisna, gelar perkara yang dilakukan tidak sesuai prosedur.
“Harusnya yang melakukan gelar perkara adalah penyidik, bukan Bawasdik,” tegasnya.
Dijelaskan Crisna, dalam gelar perkara tersebut, SEI menuntut penyidik untuk memeriksa saksi ahli, terutama ahli pidana, guna menentukan apakah kasus ini benar terjadi di Aceh atau di Pulau Jawa.
Oleh Karena itu, Crisna berharap agar Polda Aceh membuka kembali kasus ini, termasuk kasus yang telah dihentikan maupun dilimpahkan.
“Harapan kami adalah bagaimana keadilan bagi korban bisa ditegakkan. Para korban harus mendapatkan haknya, dan pihak-pihak yang dilaporkan harus dipanggil serta diperiksa untuk meningkatkan status mereka dari terlapor menjadi tersangka,” pungkas Crisna. (Mag-01)