class="post-template-default single single-post postid-132875 single-format-standard wp-custom-logo" >

Menu

Mode Gelap
Aster Kasdam IM Tinjau Program Sergab di Wilayah Kodim 0111/Bireuen Perang Kembali Mengguncang Suriah usai Runtuhnya Rezim Assad, Situasi Makin Memanas? 16 Napi Lapas Kutancane yang Kabur Berhasil Ditangkap, Berawal dari Minta Bilik Asmara Tender Gedung MTQ Diduga Kangkangi Sejumlah Aturan, Termasuk Kesepakatan Bersama DPRK. 9 Hal yang Bisa Membatalkan Puasa Ramadhan Menurut Buya Yahya

OPINI · 17 Feb 2025 13:26 WIB ·

Seni sebagai Ilmu Pengetahuan (Mengapa Perlu Kuliah Seni?)


 Seni sebagai Ilmu Pengetahuan (Mengapa Perlu Kuliah Seni?) Perbesar

Oleh : Dr. Elmi Novita, S.Pd., M. Sn*

Art being a thing of the mind (Seni adalah entitas dari pikiran), demikian pendapat Max J. Friendlander yang dikutip Erns Hans Gombrich Art and Illusion: A Study in the Psychology of Pictorial Representation (1960).

Buku ini menarik untuk dibaca terutama untuk penggemar buku klasik, diperkaya dengan aneka gambar menjadikan penjelasan lebih masuk akal dan mudah dipahami. Gombrich menggunakan pendekatan psikologi untuk memahami bagaimana seni bekerja.

Secara umum Gombrich menjelaskan bahwa seni bukan sekedar reproduksi realitas tetapi proses psikologi dan budaya yang membentuk cara kita melihat dan memahami dunia.

Beragam perspektif dapat diterapkan untuk mengeksplorasi lebih dalam apa yang ada di dalam karya seni. Misalnya perspektif sosiologi seni/antropologi seni memungkikan kita untuk memahami fungsi seni dalam masyarakat, posisi dan peran seniman dalam masyarakat, nilai-nilai bersama yang dipresentasikan dalam karya seni, dan hubungan masyarakat dengan seni. Jika ingin memperdalam pengetahuan tentang seni sebagai teks, pendekatan struktur, representasi, semiotika, estetika, filsafat dan sebagainya dapat diterapkan.

Beragam perspektif yang digunakan untuk memahami seni adalah bukti bahwa seni bukan sekedar hobi atau praktik artistik tetapi seni adalah ilmu pengetahuan, sama halnya seperti bidang ilmu lainnya seperti kita belajar biologi, matematika, fisika.

Namun kenyataannya, persepsi masyarakat pada umumnya dalam memahami seni justru baru sebatas seni sebagai keterampilan khusus, seni sebagai hobi, aktivitas seni hanya untuk mengisi waktu luang. Persepsi yang sangat dangkal.

Persepsi yang dangkal terhadap seni mengakibatkan hanya sebagian kecil eksplorasi seni sebagai ilmu pengetahuan mampu diungkapkan ke permukaan. Sebagian besar rahasia dalam karya seni masih menjadi bongkahan es yang perlu dieksplorasi menggunakan metode yang tepat.

Hal inilah yang menjadi penyebab hambar dan terbatasnya wawasan pengetahuan seni. Persepsi yang dangkal terhadap seni memiliki pengaruh yang kurang baik terhadap institusi seni. Anak-anak muda enggan menimba ilmu di institusi seni karena mereka merasa tidak memiliki keterampilan dan pengetahuan tentang seni.

Di sisi lain, terdapat anggapan kuat bahwa belajar di institusi seni dididik untuk menjadi seniman, profesi yang bagi generasi muda sekarang dianggap sebagai profesi yang kurang keren dibandingkan dengan profesi lain misalnya hakim, polisi. Sementara itu orang tua juga akan berfikir ulang untuk menyekolahkan anak-anak mereka di institusi seni.

Pekerjaan apa yang diharapkan dan menjadi jaminan di masa yang akan datang? Menjadi penyanyi, pemain musik, atau komedian?
Persepsi yang dangkal terhadap seni juga diperkuat melalui motivasi generasi muda memutuskan menempuh pendidikan di institusi seni. ‘Mengapa memilih kuliah seni? ‘Saya ingin lebih terampil bermain musik’ demikian dialog singkat dengan salah seorang mahasiswa seni. Jawaban serupa didapatkan dari mahasiswa lain bahwa motivasi utama kuliah seni untuk meningkatkan keterampilan artistik. Beragam keterampilan artistik yang ingin ditingkatkan seperti mamainkan alat musik, menari, bernyanyi, melukis, berakting, kerajinan tangan dan keterampilan lain.

Meningkatkan keterampilan artistik melalui pendidikan di institusi seni adalah hal tepat karena kurikulum seni memberikan bekal kepada mahasiswa untuk mengeksplorasi keterampilan seni mereka. Didukung tenaga pengajar yang berkompeten di bidangnya seperti magister seni dan doktor seni mahasiswa diberi kesempatan mengeksplorasi keterampilan diri. Namun, belajar di institusi seni, bukan hanya berhubungan dengan seni sebagai praktik artistik sebagaimana yang ada dalam pandangan banyak orang.

Berdasarkan fenomena ini, dapat dipahami masa-masa awal menempuh pendidikan sebagian besar mahasiswa kaget dengan pelajaran yang mereka dapatkan dan tugas-tugas yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
Tidak hanya mengasah keterampilan artistik seperti yang diinginkan, mahasiswa juga dibekali dengan pengetahuan ilmiah atau teori-teori yang berhubungan dengan seni.

Selain dibekali mata kuliah umum seperti Pancasila, Agama, Bahasa Inggris, terdapat mata kuliah yang memberikan pengetahuan dan membuka wawasan tentang teori seni, sejarah seni, hubungan seni dengan kehidupan masyarakat, psikologi dan agama.

Misalnya di Prodi Seni Karawitan terdapat mata kuliah Estetika Seni Islam, Filsafat Seni, Kritik Seni, Jurnalistik Musik. Mata Kuliah-mata kuliah tersebut menempa mahasiswa untuk menggali dan mengeksplorasi seni secara serius, sebagai apa yang disebut di awal tulisan ini art being a thing of the mind.

Tidak siap dengan konsekwensi belajar seni sebagai ilmu pengetahuan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan masih kurangnya seni dan budaya Indonesia yang dieksplorasi sebagai penelitian-penelitian serius.
Sementara peneliti-peneliti luar dengan bekal pengetahuan melakukan riset dan mengeksplorasi seni dan budaya Indonesia dan mempublikasikannya di jurnal internasional bereputasi.

Misalnya Margareth Kartomi peneliti dari Australia semenjak tahun 1970-an hingga 2024. Dan salah satu yang menggelitik adalah riset-riset peneliti luar banyak disitasi oleh peneliti Indonesia. Pertanyaan yang muncul apakah peneliti luar lebih paham makna yang tersirat dal karya seni kita?
Ironisnya, kita justru menjadi penonton di rumah sendiri.

Karya seni dan budaya kita yang kaya terus menjadi objek eksplorasi peneliti asing, sementara kita sendiri masih ragu untuk meneliti dan mendokumentasikannya dengan serius. Kurangnya kesadaran bahwa seni juga bagian dari ilmu pengetahuan menjadikan penelitian di bidang ini terpinggirkan.

Akibatnya, wawasan mendalam tentang seni dan budaya kita lebih banyak hadir dalam publikasi internasional yang ditulis oleh peneliti asing. Jika kita tidak segera bertindak, bukan tidak mungkin sejarah, makna, dan filosofi di balik warisan seni kita akan lebih dikenal dari sudut pandang luar ketimbang dari perspektif kita sendiri.

Inilah saatnya kita merubah pola pikir tentang seni sebagai ilmu pengetahuan, wujudkan melalui belajar seni secara lebih serius, sehingga riset-riset seni dan budaya kita memiliki standar yang jelas dan dapat berdampingan dengan riset peneliti luar, sehingga narasi budaya kita tetap berada di tangan kita sendiri.(*)

 

*Penulis adalah dosen Prodi Seni Karawitan Jurusan Seni Pertunjukan ISBI Aceh

Artikel ini telah dibaca 30 kali

badge-check

Penulis

Comments are closed.

Baca Lainnya

Semangat Ramadan: Cerminan Semangat Mengembangkan Perekonomian di Aceh

5 March 2025 - 09:43 WIB

Perempuan Sekolah, Untuk Apa??

28 February 2025 - 06:45 WIB

Sholat dalam Perspektif Filosofis dan Teologis: Kewajiban atau Kebutuhan?

27 February 2025 - 15:27 WIB

Seni untuk Hidup atau Hidup untuk Seni

10 February 2025 - 21:57 WIB

Masihkah Seni Dibutuhkan di Aceh?

2 February 2025 - 10:35 WIB

Seni Rupa Aceh dalam Hadih Maja: Menggali Relasi Seni Rupa dan Sastra Tradisional

27 January 2025 - 21:51 WIB

Trending di OPINI