BANDA ACEH – Menyikapi pernyataan Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mengenai dampak ekonomi dari eksklusivitas perbankan syariah di Aceh, Komisi C Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Banda Aceh menegaskan bahwa kebijakan tersebut merupakan bagian dari kekhususan Aceh dalam penerapan Syariat Islam.
Ketua Komisi C, Tgk. Umar Rafsanjani, menegaskan bahwa setiap bentuk muamalah atau akad yang tidak sesuai dengan prinsip syariah tidak dapat ditolerir di Aceh, meskipun dari perspektif ekonomi konvensional ada risiko kerugian.
“Kekhususan Aceh dalam menerapkan Syariat Islam harus dihormati oleh semua pihak. Apapun bentuk transaksi keuangan yang bertentangan dengan syariah, tidak dapat dibenarkan di Aceh, meskipun ada pihak yang menganggapnya merugikan dari sisi bisnis,” ujar Tgk. Umar Rafsanjani, Rabu (12/3).
Menurutnya, Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah bukan sekadar kebijakan politik, melainkan cerminan dari keinginan masyarakat Aceh untuk menjalankan prinsip ekonomi yang sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, wacana kembalinya bank konvensional ke Aceh perlu dikaji lebih mendalam, mengingat Aceh memiliki aturan khusus yang tidak bisa disamakan dengan daerah lain di Indonesia.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa Aceh terus berupaya meningkatkan sistem keuangan syariah agar dapat memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat tanpa harus bergantung pada sistem konvensional. “Kita akui ada tantangan dalam transisi ini, tetapi ini adalah harga yang harus kita bayar demi menjaga keutuhan prinsip syariah dalam kehidupan bermasyarakat di Aceh,” tambahnya.
MPU Kota Banda Aceh berharap seluruh pihak, termasuk OJK dan pelaku usaha, dapat memahami dan menghormati kekhususan Aceh dalam menerapkan sistem ekonomi berbasis syariah. Pemerintah Aceh pun terus berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk memastikan implementasi perbankan syariah berjalan lebih optimal demi mendukung pertumbuhan ekonomi daerah. (ra/drh)