class="post-template-default single single-post postid-136060 single-format-standard wp-custom-logo" >

Menu

Mode Gelap
April, Mualem Resmikan Pembangunan Pabrik Ban, Serap 1.000 Tenaga Kerja di Aceh Barat Ramadan di Aceh Harmoni Kehidupan dalam Syariat Islam Keluarga Besar Ditlantas Polda Aceh Gelar Buka Puasa Bersama dan Santunan Anak Yatim Israel bunuh 150 lebih warga Palestina di Gaza sejak gencatan senjata Meretas Penantian 14 Tahun, Aceh Besar Kembali Raih Juara Umum Musabaqah Tunas Ramadhan

KHAZANAH · 17 Mar 2025 14:54 WIB ·

Ramadan di Aceh Harmoni Kehidupan dalam Syariat Islam


 Jajaran toko dan warung kopi di kawasan Simpang Tujuh Ulee Kareng terlihat tutup saat pagi hari di bulan Ramadan, Jumat lalu (14/3). (Septi Iklima Fadila Santi/rakyat aceh) Perbesar

Jajaran toko dan warung kopi di kawasan Simpang Tujuh Ulee Kareng terlihat tutup saat pagi hari di bulan Ramadan, Jumat lalu (14/3). (Septi Iklima Fadila Santi/rakyat aceh)

Laporan : Septi Iklima Fadila Santi, Banda Aceh

Di pagi hari, saat matahari mulai menyinari Kota Banda Aceh, suasana di kawasan Simpang Tujuh Ulee Kareng tampak berbeda.
Jika di luar bulan Ramadan daerah ini dipadati kendaraan dan aktivitas masyarakat yang bergegas berbelanja bahan dapur dan mencari sarapan di warung kopi (warkop) dan rumah makan, kini yang terlihat hanyalah deretan kedai dengan pintu tertutup rapat.

Warkop-warkop yang biasanya ramai dengan obrolan santai para pelanggan kini tampak sepi, seolah memberi ruang bagi kota untuk menikmati ketenangan bulan suci.

Pemandangan serupa juga terlihat di berbagai sudut kota. Sejak hari pertama hingga hari ke-16 Ramadan ini, seluruh aktivitas masyarakat mengalami perubahan ritme yang khas.
Warung makan dan kedai kopi baru akan kembali beroperasi menjelang waktu berbuka, sekitar pukul 16.30 WIB.
Namun, mereka tidak bisa bebas beroperasi sepanjang malam. Saat azan Isya berkumandang, usaha-usaha ini kembali menutup pintu, memberikan kesempatan bagi warga untuk menunaikan salat Tarawih dengan lebih khusyuk.

Kondisi ini bukanlah sekadar kebijakan pemerintah, tetapi sebuah tradisi yang telah berlangsung lama di Aceh. Masyarakat dengan penuh kesadaran mengikuti aturan ini, menjadikannya bagian dari budaya yang mengakar kuat.
Bagi masyarakat Aceh, warkop bukan sekadar tempat menikmati kopi, tetapi juga ruang sosial yang menyatukan berbagai lapisan masyarakat. Namun, ketika bulan Ramadan tiba, peran warkop mengalami penyesuaian. Selama pagi hingga sore hari, warkop di Aceh menghormati waktu puasa dengan menutup usahanya.

Seorang pemilik warung kopi di kawasan Simpang Tujuh Ulee Kareng, Ridwan (45), mengatakan dirinya sudah menganggap ini sebagai tradisi khusus di Aceh saat Ramadan.
“Setiap Ramadan, waktu operasional memang jadi lebih sedikit supaya masyarakat lebih fokus beribadah. Kami sudah paham dengan aturan ini,” katanya, Ahad (16/3).

Menjelang sore, pedagang kembali bergeliat. Para pelanggan mulai berdatangan untuk membeli santapan berbuka, atau sekadar berbincang santai di warkop sambil menunggu azan Magrib. Namun, ketika waktu salat Tarawih tiba, warkop kembali tutup hingga selesai salat Witir sekitar pukul 21.30 WIB.

Bagi sebagian orang di luar Aceh, kebiasaan ini mungkin terdengar unik. Namun, bagi warga Aceh sendiri, ini adalah bagian dari upaya menjaga kekhusyukan bulan suci.

“Kalau warkop tetap buka saat Tarawih, pasti banyak yang memilih nongkrong daripada ke masjid,” ujar Ridwan.
Sejarawan Aceh, Prof. Dr. Husaini, M.A., menjelaskan bahwa tradisi penutupan usaha di siang hari memiliki akar sejarah yang kuat. Menurutnya, sejak masa Kesultanan Aceh, Ramadan selalu disambut dengan penuh penghormatan.

“Sultan Aceh sangat antusias dalam menyambut bulan suci Ramadan. Setiap tahunnya, ia mengadakan pertemuan dengan staf dan para ulee balang untuk menegaskan pentingnya penerapan syariat Islam secara kaffah, termasuk dalam hal penertiban aktivitas perdagangan pada siang hari,” jelas Prof. Husaini kepada Harian Rakyat Aceh.
Tradisi ini, kata dia, terus berlanjut hingga kini, menjadi bagian dari budaya masyarakat Aceh yang menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari.

Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh sebelumnya secara resmi mengeluarkan Tausiah Ramadan Nomor 1 Tahun 2025 tentang Pelaksanaan Ibadah Ramadan dan Kegiatan Keagamaan 1446 Hijriah.

Dalam tausiah ini, MPU meminta agar pemilik usaha, baik warung kopi, rumah makan, hotel, mal, maupun tempat usaha lainnya, untuk menghentikan aktivitas saat salat lima waktu dan selama pelaksanaan salat Tarawih dan Witir.
“Kami meminta seluruh pemilik usaha untuk menutup tempatnya dari pengunjung saat salat berlangsung. Ini agar masyarakat lebih fokus beribadah dan tidak terganggu oleh aktivitas ekonomi,” demikian isi seruan MPU.
MPU juga mengimbau masyarakat untuk memanfaatkan bulan suci ini dengan lebih banyak beribadah. Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tentang memperbanyak amal ibadah, membaca Al-Qur’an, dan memperkuat hubungan spiritual dengan Allah.

Dan, Pemerintah Kota Banda Aceh bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) juga telah mengeluarkan seruan mengenai jam operasional usaha selama bulan Ramadan. Para pedagang makanan dan minuman hanya diperbolehkan mulai berjualan pada pukul 16.30 WIB, memberi ruang bagi masyarakat untuk fokus beribadah di siang hari.

Selain itu, seluruh tempat usaha diwajibkan tutup saat salat Tarawih dan baru boleh beroperasi kembali setelah pukul 21.30 WIB. Forkopimda juga mengingatkan bahwa aktivitas ekonomi tidak boleh mengganggu ketenteraman dan kekhusyukan ibadah selama bulan suci.
“Kami mengimbau agar seluruh pelaku usaha mematuhi aturan ini. Ramadan adalah bulan penuh keberkahan, dan sudah sepatutnya kita menghormatinya dengan menjaga suasana yang kondusif,” bunyi dalam seruan tersebut.
Seruan ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara aktivitas ekonomi dan ibadah, memastikan bahwa semua pihak dapat menjalankan kewajiban keagamaannya tanpa terganggu oleh hiruk-pikuk duniawi.
Bulan Ramadan di Aceh bukan hanya tentang perubahan jadwal makan dan minum, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat menyesuaikan diri dengan nilai-nilai syariat Islam yang telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Ketika waktu berbuka tiba, suasana kota kembali hidup. Aroma makanan khas berbuka seperti kanji rumbi, lemang, dan makanan lainnya tercium di udara.

Aceh, sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam, menunjukkan bagaimana agama dan budaya dapat berjalan berdampingan dalam harmoni. Kehidupan ekonomi tetap berputar, tetapi dengan tetap mengutamakan ibadah dan nilai-nilai keislaman.
Dalam suasana yang penuh ketenangan ini, Ramadan benar-benar menjadi bulan keberkahan. Setiap individu, dari pemilik usaha hingga warga biasa, ikut ambil bagian dalam menjaga kesakralan bulan suci ini. (Mag-01)

 

Artikel ini telah dibaca 17 kali

badge-check

Penulis

Comments are closed.

Baca Lainnya

Wakapolda Aceh Hadiri Rapat Forkopimda Bersama Bupati dan Wali Kota

17 March 2025 - 16:50 WIB

Anggota Komisi VI DPRA Minta Komdigi Pasang Jaringan Internet BAKTI di Aceh Selatan

17 March 2025 - 16:42 WIB

Penggawa Timnas Langsung ke Sydney, Profesor Pede Menatap Australia

17 March 2025 - 16:26 WIB

Polda Aceh: Hotline Mudik 110 Siap Layani Masyarakat 24 Jam secara Gratis

17 March 2025 - 16:10 WIB

Tunjuk Fadhil Ilyas Sebagai Plt Dirut Bank Aceh, Muzakir Manaf: Kajeut Kerja Aju

17 March 2025 - 15:56 WIB

Gubernur Muzakir Manaf Tunjuk M Nasir Sebagai Plt Sekda Aceh  

17 March 2025 - 15:48 WIB

Trending di UTAMA