BANDA ACEH (RA) – Pemerintah Aceh memastikan tetap menunggu fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, terkait penangganan rubella lewat program nasional imunisasi MR.
Belum adanya fatwa dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, akibatnya pemerintah Aceh belum bisa mengeluarkan kebijakan untuk dapat meneruskan program nasional, imunisasi MR.
“Meskipun sudah ada “lampu hijau” dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) Pusat, tapi Pemerintah Aceh saat ini berada dalam posisi menunggu rekomendasi atau Fatwa dari MPU Aceh,” tegas Jurubicara Pemerintah Aceh, Wiraatmadinata, Rabu (12/9).
Ia menyebutkan, Dinas Kesehatan Aceh sebelumnya sudah mengirim surat pada MPU, 5 September lalu. Isinya minta agar pelaksanaan Vaksin Rubella MR bisa difatwakan.
“Nah, fatwa itulah yang sedang kita tunggu,” sebutnya. “Kita mengharapkan agar MPU Aceh segera mengeluarkan fatwa mengenai soal ini.
Fatwa itu, sebutnya membuat pelaksanaan sesuai dengan mekanisme, prosedur dan hal-hal lain yang terkait dalam soal pengambilan keputusan atau kebijakan di lingkungan Pemerintah Aceh.
Ia menyebutkan, fatwa MUI tidak merekomendasi vaksin MR untuk digunakan pemerintah, hanya dibolehkan penggunaannya bila darurat. Kondisi darurat yang bagaimana? Kondisi darurat dalam Islam bila tidak dilakukan bisa berakibat kematian.
“Kondisi darurat inikan tentu ulama yang lebih faham. Hal-hal seperti inilah yang sedang kita tunggu rekomendasinya dari MPU Aceh,” ujarnya lagi.
Belum Meneliti Bahan Vaksin
Sementara itu, Ketua MPU Aceh, Prof. Dr. Tgk. H. Muslim Ibrahim pada Rakyat Aceh menjelaskan, pihaknya belum bisa mengeluarkan fatwa imunisasi vaksin MR.
Alasannya, harus meneliti bahan-bahan pembuat bahan vaksin MR produk dari Serum Institute of India (SII).
“MPU Aceh belum bisa meneliti dengan serius, karena bahan pembuat vaksin MR kita belum dapat. MUI bilang mereka telah dapat bahannya, tapi kita belum dapat untuk bisa menelitinya,” ujarnya.
Berdasarkan informasi dari Komisi Fatwa MUI Pusat, dikatakan, dalam vaksin MR ada bahagian lemak babi, ada juga bagian manusia. Atas dasar informasi itu, MPU berpendapat, hukum penggunaan vaksin MR pada dasarnya haram.
“Tapi jika penyakit MR itu telah mewabah, keadaan telah disebut darurat, boleh menggunakannya sebatas kondisi tersebut. Jika disuatu daerah telah mewabah dan bisa dikatakan kondisinya darurat, maka daerah tersebut boleh menggunakannya, tapi hanya di daerah tersebut saja dan ini hanya sementara,” jelasnya.
Sebelumnya, pada 20 Agustus 2018 lalu, MUI Pusat telah mengeluarkan fatwa, vaksin MR produksi dari SII hukumnya haram, dalam proses produksinya memanfaatkan bahan yang berasal dari babi.
Namun pada fatwa itu juga disebutkan, penggunaan vaksin MR dibolehkan dengan alasan, ada kondisi keterpaksaan (darurat syar’iyyah). Belum ditemukannya vaksin halal dan suci. Ada keterangan dari para ahli yang kompeten dan dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi dan belum adanya vaksin yang halal.
Terkait pentingnya imunisasi vaksin MR ini, Sekretaris Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aceh, dr Aslinar Spa menyebutkan, program imunisasi MR seharusnya menjadi salah satu program pokok kesehatan di suatu daerah. Dampak tak melaksanakannya sangat berbahaya, tidak hanya bagi penderita tetapi menular dan dapat membahayakan nyawa orang lainnya.
Dikatakannya, berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Aceh, hingga 5 September, cakupan anak imunisasi di Aceh kurang dari 7 persen dari target 1,5 juta anak Aceh.
“Angka 7 persen ini sangat mengkhawatirkan kita. Anak-anak kita di Aceh sekarang rentan dan terancam terkena virus campak rubella,” tukas dr Aslinar Spa.
Sementara itu Dita Ramadonna, Health Officer Unicef Indonesia, menyampaikan, terlalu mahal harga dan kerugian dialami jika anak tak mendapatkan imunisasi MR.
Dita kemudian menjelaskan mahal dan kerugian yang dialami pada keluarga yang terkena dampak campak rubella. Seorang anak yang terkena dampak virus rubella bisa menderita Katarak, untuk operasi mata (tanamlensa) harus mengeluarkan biaya hingga Rp25 juta. Membeli kacamata khusus seharga Rp2 hingga 3 juta.
Anak juga bisa berdampak tuli, karenanya perlu alat bantu dengar Rp8 juta hingga Rp40 juta. Atau untuk kenyamanan anak perlu operasi implant kokhlear, namun harus mengeluarkan biaya Rp300 hingga Rp500 juta.
Berikutnya, anak kemungkinan besar juga menderita kelainan jantung. Adanya gangguan pertumbuhan hingga perlu Fisioterapi (berdiri, berjalan, terapi bicara dan mendengar. Ini memerlukan biaya Rp100ribu/sesi (minimal tiga kali seminggu). Juga ada beban psikis keluarga seumur hidup, tidak dapat dihitung dengan uang.
“Imunisasi merupakan hak anak atas kesehatan untuk tumbuh kembang dan perlindungan mencapai potensi maksimal yang wajib dijamin, dan dipenuhi oleh orangtua dan negara. Karenanya kita sedih dengan rendahnya tingkat imunisasi MR di Aceh ,” sebutnya. (min/mai)