class="post-template-default single single-post postid-44397 single-format-standard wp-custom-logo" >

Menu

Mode Gelap
Pejabat Tak Disiplin, Wali Kota Sayuti Ancam Copot Jabatannya Kabel Listrik Dicuri, Lampu Jalan di Banda Aceh Padam – Kerugian Capai Rp261 Juta Ketua Pembina Yayasan SCN : Lembaga Non Profit Punya Peran Penting Atasi Kemiskinan Akademisi Umuslim : Berikut Kriteria Sosok Ideal Pimpin KNPI Bireuen Polri Beber 3 Perusahaan Produsen Minyakita Tidak sesuai Takaran

UTAMA · 24 Feb 2021 14:42 WIB ·

Tersangka yang Minta Maaf Tidak Boleh Ditahan


 Tersangka yang Minta Maaf Tidak Boleh Ditahan Perbesar

Harianrakyataceh.com – Saat menerima laporan terkait dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), penyidik kepolisian harus mampu membedakan kritik, masukan, hoaks, atau pencemaran nama baik. Penegasan itu disampaikan secara resmi oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo melalui Surat Edaran Nomor SE/2/112021. Setelah terbitnya surat tersebut, penyidik tidak boleh lagi memproses pidana terlapor tanpa mempelajari unsur-unsur laporan tersebut.

Ada juga instruksi agar tersangka yang telah sadar dan meminta maaf tidak ditahan meski proses hukum tetap berjalan. Penyidik juga harus memberikan ruang mediasi dari tingkat penyelidikan dan penyidikan. Bahkan, penyidik bisa memberikan saran kepada jaksa penuntut umum untuk mediasi di tingkat penuntutan.

Secara keseluruhan, terdapat sebelas poin yang diatur dalam SE Kapolri tersebut. Di antaranya, penyidik diminta mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital dan berbagai persoalannya serta memahami budaya beretika di ruang digital dengan menginventarisasi permasalahan dan dampaknya. ”Saat menemukan ada yang saling kata, kita ingatkan bahwa hal itu tidak baik dan pidana,” tutur Kadivhumas Polri Irjen Argo Yuwono.

Penyidik juga harus mengedepankan preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert. Tujuannya, memonitor, mengedukasi, mengingatkan, dan mencegah tindak pidana siber. ”Ini penyidik harus paham, teknisnya diberikan ke Bareskrim,” jelasnya.

Saat menerima laporan, penyidik juga harus berkomunikasi dengan para pihak yang terkait. Khususnya korban. Petugas juga harus mengkaji dan membuat gelar perkara secara komprehensif dengan melibatkan Bareskrim dan Dittipidsiber melalui virtual meeting. ”Saat mediasi, pihak yang beperkara diberi ruang khusus,” ujarnya.

Selanjutnya, penyidik harus berprinsip bahwa pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum. Polri harus mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara. Poin lainnya, langkah damai harus menjadi prioritas penyidik untuk restorative justice. Kecuali, perkara yang berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme.

Poin terakhir, dilakukan pengawasan berjenjang dalam setiap penyelidikan dan penyidikan serta memberikan reward and punishment atas penilaian pimpinan. ”Ini dilakukan agar penyidik merasa terawasi,” kata Argo.

Selain surat edaran, Kapolri mengeluarkan telegram terkait dengan hal yang sama. Ada petunjuk teknis yang harus dilakukan. ”Sama juga ini penekanan kepada anggota, adanya TR,” paparnya dalam konferensi pers kemarin.

Bagaimana dengan kasus ITE Novel Baswedan? Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Rusdi Hartono menyatakan, sejak ada surat edaran dan telegram, semua kasus diperlakukan sama. Kasus Novel akan diupayakan mediasi dengan pelapornya. ”Prosesnya bakal seperti itu untuk kasus yang sudah dan akan datang. Restorative justice dikedepankan,” tegasnya.

Pada bagian lain, Koalisi Masyarakat Sipil memberikan masukan kepada pemerintah terkait dengan pembentukan Tim Kajian UU ITE. Muhammad Isnur, perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menegaskan bahwa pihaknya pesimistis dengan hasil kerja tim bentukan menteri koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan (Menko Polhukam) tersebut.

Keterangan itu disampaikan berdasar dua hal. Pertama, tidak ada keterlibatan pihak independen dalam Tim Kajian UU ITE. ”Seperti Komnas HAM yang selama ini menerima aduan terkait dengan pelaporan soal pasal-pasal karet UU ITE,” ujarnya.

Kedua, lanjut Isnur, koalisi melihat Tim Kajian UU ITE berisi sosok-sosok yang berpotensi menghambat upaya revisi UU ITE. Padahal, koalisi sudah lama mendorong UU tersebut direvisi. Sebab, pasal-pasal karet dalam UU ITE kerap disalahgunakan untuk memidanakan aktivis pembela HAM, pihak-pihak yang mengkritik pemerintah, bahkan jurnalis. Karena itu, koalisi mendorong pemerintah melibatkan pihak independen. Selain Komnas HAM, Komnas Perempuan juga dinilai layak masuk dalam Tim Kajian UU ITE yang diumumkan Menko Polhukam Mahfud MD dua hari lalu (22/2).

SUMBER : JAWA POS
Artikel ini telah dibaca 5 kali

badge-check

Penulis

Comments are closed.

Baca Lainnya

Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Bahas Investasi Bersama Dubes Uni Emirat Arab dan Mubadala Energy

10 March 2025 - 18:04 WIB

Wakili Wagub, Plt Sekda Aceh Lepas Tim Safari Ramadhan

10 March 2025 - 18:00 WIB

Tinjau Lahan Rencana Pembangunan Pabrik Rokok di Aceh Utara, Mualem : Pembangunan Langsung Dimulai Sekarang!

10 March 2025 - 17:56 WIB

Sempat Terkendala Paspor, Korban TPPO di Laos Akhirnya Tiba di Aceh

10 March 2025 - 17:50 WIB

Terlambat Mengkadha Puasa Hingga Masuk Ramadhan Selanjutnya

10 March 2025 - 14:36 WIB

Wali Nanggroe Terima Kunjungan Dubes UEA, Bahas Rencana Kerjasama Lanjutan

10 March 2025 - 04:50 WIB

Trending di UTAMA