class="post-template-default single single-post postid-6249 single-format-standard wp-custom-logo" >

Menu

Mode Gelap
BKN Pangkas Anggaran BBM Hingga Daya Listrik Penembakan Massal di Sekolah Orebro Swedia Tewaskan 10 Orang 13 Toko dan 11 Unit Rumah di Bandar Baru Terbakar ISBI Aceh dan Pemkab Aceh Timur Sepakat Kolaborasi Pendidikan Seni Budaya Bersama MK Tolak Gugatan Pilkada Lhokseumawe, Saatnya Bersatu Untuk Kota Lhokseumawe

UTAMA · 28 Apr 2017 01:25 WIB ·

Bermalam di Puing Barak


 DIGUSUR: Maryam, warga barak tsunami di desa Bakoy mengangkat tilam ketika petugas Satpol PP menggusur barak tersebut, Aceh Besar, Kamis (27/4).
DESI BADRINA/RAKYAT ACEH Perbesar

DIGUSUR: Maryam, warga barak tsunami di desa Bakoy mengangkat tilam ketika petugas Satpol PP menggusur barak tersebut, Aceh Besar, Kamis (27/4). DESI BADRINA/RAKYAT ACEH

Desi Badrina -Banda Aceh

“Pak Zaini! Ne kalon kedroe warga droe neh (lihat sendiri warga anda ini)!” pekik Maryam, saat puluhan petugas Satpol PP dan Polisi membersihkan bekas barak Bakoy, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, Kamis (27/4). Zaini yang dimaksud perempuan renta itu, Gubernur Aceh.

Dua hari lalu, petugas telah mengusur barak yang ditempatinya selama 12 tahun silam. Usai penggusuran, ia menata triplek sisa dan dinding barak sebagai penyangga. Sementara karpet bekas bilik yang ditempati, disulapnya menjadi atap gubuk terbarunya.

Dulu, Maryam tinggal di Punge Jurong, Kecamatan Meuraxsa, Banda Aceh bersama suami dan empat orang anak. Dua anaknya meninggal saat tsunami 2004. Sekarang mereka tinggal berempat. Sejak saat itu, ia dan beberapa korban tsunami lainnya, tinggal di barak pengungsian Gampong Bakoy.

Hingga sekarang, beberapa orang yang belum mendapatkan bantuan rumah masih menetap di sana termasuk Maryam. M Nasir, suami Maryam, sudah tidak bisa lagi mencari nafkah. Ia yang dulu berjualan mie di kaki lima menggunakan gerobak, sejak 2013 sudah tidak berjualan lagi karena terkena penyakit stroke.

“Kemana harus cari uang untuk sewa rumah,” kata Maryam dalam bahasa Aceh, sambil menahan air mata.
Ia dan puluhan warga lain, tak bisa melawan. “Mereka pakai seragam bagaimana kita lawan!” tegasnya.
Penggusuran itu berlangsung seharian. Sejak pukul 09.00 sampai pukul 18.00 WIB. Bukhari, kepala barak yang sejak pagi sudah stanby di atas becak barangnya, menyaksikan apa yang akan dilakukan Satpol PP pada hari kedua, usai penggusuran. Ia, Jamaluddin, Kasmadi dan Halimatussa’diah sedang berbincang mengenai nasip Maryam dan warga lainnya.

“Saya kemari, untuk membantu mereka, jika masih tak ada tempat tinggal akan saya bawa ke rumah saya,” kata Bukhari. Ia juga pernah tinggal di Barak bersama Maryam dan pengungsi lainnya.

Ia mengatakan sudah sering berkoordinasi dengan para pejabat pemerintah baik dari provinsi dan Kabupaten. “Sudah ada 35 hektar tanah yang dibebaskan oleh BRR untuk para korban tsunami. Dan semuanya ada lima titik. Namun hanya di Neuhen yang bisa ditempati, yang berdekatan dengan perumahan Jekhichan,” kata Bukhari.

Sampai saat ini, kata Bukhari tanah itu tidak bisa mereka tempati. Karena prosedur administrasi antara provinsi dan Kabupaten Aceh Besar yang belum jelas. “Dari provinsi bilang, tanggung jawab untuk tempat tinggal kami sudah dilimpahkan ke Kabupaten Aceh Besar, namun dari pihak administrasi dari kabupaten, itu masih simpang siur, alasannya karena surat tanah belum keluar,” jelas Bukhari.

Lucunya, kata Bukhari, tiap kali ada pendataan, pihak yang bersangkutan, tak mau berhubungan langsung dengan korban tsunami yang tinggal di Barak Bakoy itu. “Datang dan data kami. Jika memang tidak berhak, ya kami tidak akan mengharap lagi,” kata Bukhari.

Ia menceritakan bagaimana sebelum pembongkaran pertama pada akhir 2016 lalu, usaha mereka bertemu dengan bupati Aceh Besar. “Kami 12 orang datang ke rumah Pak Mukhlis malam-malam, naik sepeda motor dan kata Satpamnya, dia sudah istirahat,” cerita Bukhari.

Mereka akhirnya kembali untuk bertemu Bupati Aceh Besar itu, pada keesokan harinya. Tepat setelah subuh, Bukhari dan warga barak datang untuk bertemu langsung Bupati, menanyakan langsung bagaimana nasip mereka.

“Kami ingin bertanya langsung, makanya datang lagi pagi itu. Tapi tak mendapat tanggapan apapun. Kmai tak diperbolehkan melewati pagar rumahnya. Jangankan ia mau menjumpai kami, melihat ke arah kami saja, bupati itu tidak,” kenang Bukhari.

Ia yang sedang berjuang untuk 25 kepala keluarga lewat SK no 256 tahun 2011 yang dikeluarkan oleh Bupati Bukhari Daud, tentang penetapan calon penerima rumah bantuan di daerah Gampong Mireuk, Lamreudeup, Kecamatan Baitussalam, yang sudah diperjugankan sejak 2010 sampai saat ini belum ada hasil apapun.
Ia berharap dapat melakukan audiensi dengan Zaini Abdullah sebelum masa jabatan Gubernur Aceh itu berakhir. “Yang kami inginkan bertemu langsung dengan Zaini Abdullah. Jika memang, dia mengatakan bahwa bantuan untuk kami memang sudah tidak ada, kami tidak akan berharap lagi,” kata Bukhari seraya memalingkan muka ke arah puing-puing barak itu.(mai)

Artikel ini telah dibaca 30 kali

badge-check

Penulis

Comments are closed.

Baca Lainnya

Presiden Prabowo dan Menkes Budi Bahas Program Cek Kesehatan Gratis, Mulai Berjalan 10 Februari

5 February 2025 - 17:01 WIB

Akomodir Rapat Yayasan MIM Langsa yang Diduga Langgar Anggaran Dasar, Notaris di Aceh Besar Dilaporkan ke MPD

5 February 2025 - 07:11 WIB

Bertemu Mendagri, Pj Gubernur Aceh dan Ketua DPR Aceh Bahas Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Terpilih

4 February 2025 - 21:30 WIB

Jelang Ramadan, Presiden Prabowo Pastikan Stok Pangan Nasional Aman

4 February 2025 - 15:44 WIB

Terkait Kasus OI, Iwan Fals dan Istri Dicecar dengan 16 Pertanyaan

4 February 2025 - 15:01 WIB

Sidang Mesum Sesama Jenis Pasangan Gay Terancam 100 Kali Cambuk

4 February 2025 - 14:22 WIB

Trending di METROPOLIS