LAPORAN : Al Amin, Aceh Tenggara
Ketambe, tau nama itu belasan tahun lalu saat browsing tentang Leuser. Penulis akhirnya bisa menjejakinya berkat ajakan Forum Konservasi Leuser (FKL) yang berbaik hati mengirimkan undangan untuk Journalist Trip ke Kawasan Ekosistem Leuser tanggal 5 – 12 April 2017.
Di kawasan ekosistem Leuser (KEL) ada dua stasiun penelitian yang dulunya diramaikan peneliti yakni Stasiun Penelitian (SP) Ketambe dan SP Soraya. SP Ketambe malah pernah menjadi barometer para peneliti terkait kehidupan orangutan sumatera (Pongo abelii).
Penulis bersama empat jurnalis lainnya yakni Chaider Mahyudin dari AFP, Junaidi Hanafiah dari situs berita lingkungan mongabay, Zulkarnaini Masry dari Harian Kompas dan Didik Ardiansyah dari Kompas TV, diajak menelusuri dua stasiun penelitian, Ketambe dan Soraya, yang kini dalam pengelolaan FKL.
Saat memasuki dan menelusuri hutan bersama tim kami mendapat keberuntungan bertemu langsung dengan komunitas orangutan terdiri dari satu jantan dominan dengan dua betina, satu anak dan dua orangutan remaja.
Bersama tim, kami sejenak ikut mengobservasi kehidupan primata yang dikatakan salah satu binatang tercerdas. Mereka belajar dari satu sama lain, mencari cara untuk memecahkan masalah, serta mampu membuat dan menggunakan alat-alat. Bahkan pernah terlihat orangutan mengguanakan kayu sebagai tongkat mengambil makanan yang hanyut di sungai.
Kami juga melihat pohon raksasa yang berdiameter 17 pelukan lelaki berdiri kokoh di kawasan penelitian ini. Pohon Kapok Rimba atau dalam latinnya Bombax Valetonii masuk family Bombaceae. Diperkirakan pohon berusia ratusan tahun.
SP Ketambe berada di Desa Ketambe, Aceh Tenggara, masuk dalam kawasan TNGL, merupakan stasiun penelitian Orangutan pertama di dunia. Didirikan pada tahun 1971 oleh peneliti berkebangsaan Belanda yang bernama Herman D. Rijksen yang bekerja untuk Universitas Wageningen, Belanda.
Selain orangutan sumatera (Pongo abelii), jenis primata lainnya yang banyak terdapat disana antara lain adalah kukang (Nyctecebus coucang), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Beruk (Macaca nemestrima), Kedih (Prysbitis thomasii), Sarudung (Hylobates Lar), dan Siamang (Hylobates syndactylus). Selain primata, juga terdapat mamalia besar lainnya seperti Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatraensis), Macan Dahan (Neofelis nebulosa) dan Beruang madu (Helarctos malayanus).
“Kita ingin gairah penelitian ini kembali, terutama kita harapkan kepada peneliti dari Aceh. Sangat sedikit, warga Aceh bisa kita katakan sebagai pemilik daerah punya hasrat meneliti di dua stasiun penelitian yang kini kita kelola,” ungkap Manajer Konservasi FKL Rudi Putra.
Diceritakannya, SP. Ketambe menjadi lokasi penelitian banyak peneliti yang kemudian terkenal, seperti Dr. Chris Schrümann (1975-1979), Dr. Carel van Schaik (1979-1984), Dr. Maria van Noordwijk (1979-1984), Dr. Jito Sugardjito (1979-1983), Dr. Tatang Mitra Setia (1991-1993), Dr. Serge Wich (1993-1995, 1998-2000), dan Dr. Sri Suci Utami Atmoko (1993-1996), selain dari berbagai peneliti dan mahasiswa yang telah melakukan studi di sana dan tidak terhitung jumlahnya selama rentang waktu bertahun-tahun.
Keberadaan para peneliti lapangan yang hampir tanpa jeda dan berkesinambungan di stasiun monitoring Ketambe, dimulai proyek perintis dilakukan Herman pada 1970-an, menempatkan stasiun ini dalam salah satu tempat untuk kegiatan penelitian kera besar dalam jangka paling panjang yang pernah ada di dunia selain Budongo Conservation Field Station di Uganda (simpanse), Gombe Stream Research Center di Tanzania (simpanse), Karisoke Research Center di Rwanda (gorilla), Mahale Mountains Research Project di Tanzania (simpanse), Camp Leakey di Kalimantan Tengah (orangutan kalimantan), dan Wamba Research Station di Kongo (bonobo). (Sumber http://sumatranorangutan.org/research-3/ketambe).
SP Ketambe kemudian surut dari objek penelitian sejak makin tingginya konflik bersenjata di Aceh antara Pemerintahan Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka di penghujung 1990-an hingga tahun 2005. Ketakutan akan adanya penculikan peneliti, terutama dari luar negeri, membuat Ketambe sepi.
Seperti dikatakan Johan pemilik Wisma Cinta Alam, Ketambe, yang sepi pengunjung pada masa konflik. “Peneliti memang tetap ada, tapi sangat jauh berkurang. Selain mungkin ketakutan peneliti untuk datang. Tapi sepi juga kemungkinan karena rumitnya dan mahalnya untuk bisa masuk ke kawasan KEL,” ujar Johan yang guest house nya menjadi lokasi penginapan para peneliti atau mereka yang ingin observasi ke kawasan Ketambe.
SP Ketambe benar-benar sepi pengunjung saat terbakar pada Juli 2011. Stasiun ini terbakar setelah terjadi konflik pengelolaan antara BBTNGL dengan BPKEL. Kedua pihak merasa paling berhak mengelola Stasiun Penelitian tersebut. Sejak itu stasiun tersebut ditutup. Tidak ada kegiatan apapun yang dilakuan di stasiun ini.
Stasiun ini bangkit kembali pada tahun 2014. Oleh inisiatif dari FKL yang menjalin kerjasama dengan Dinas Kehutanan Aceh dan BBTNGL serta melakukan komunikasi dengan pemuka masyarakat setempat untuk mengaktifkan kembali stasiun tersebut. Akhirnya disepakati stasiun ini perlu diaktifkan kembali.
Berangsur penelitian kembali ada. Dari Agustus 2015 – Juli 2016 jumlah yang masuk ke Ketambe melakukan penelitian atau observasi sejumlah sebanyak 90 orang dengan rincian WNA 72 orang dan WNI 18 orang.
“Kita berharapnya lebih banyak warga Indonesia terutama warga lokal yakni orang Aceh asli melakukan penelitian. Sebagai tanah endatu, seharusnya punya kebanggaan dan menyiarkan penelitian mereka untuk dunia,” harap Manajer SP Ketambe, Arwen.
Dikatakan Arwen, untuk menarik minat penelitian warga lokal, mereka telah mengadakan roadshow memperkenalkan SP Ketambe dan Soraya ke dua perguruan tinggi di Aceh yakni, Unsyiah dan UIN ArRaniry.
Sayangnya, ajakan ini tak mendapat respon seperti diharapkan. Padahal FKL sebagai pengelola mengiming-imingi scholarship dan fellowship kepada para mahasiswa atau mereka yang akan maju strata dua berkeinginan meneliti di stasiun penelitian tersebut.
“Sampai kini belum ada yang mengajukan proposal ke kita dari para mahasiswa atau mereka yang program pasca sarjana ingin mengadakan penelitian di stasiun kita kelola,” tukas pria yang kenyang menjadi asisten peneliti di SP Ketambe tersebut.
Minimnya minat penelitian juga terjadi untuk SP Soraya yang berada di Desa Pasir Belo Kec. Sultan Daulat Kota Subulussalam. Sejak dioperasionalkan kembali awal 2017 lalu, baru ada observasi dilakukan oleh mahasiwa dari Unsyiah.
“Mereka para mahasiswa Unsyiah itu datang untuk mengambil data tentang rayap. Ada juga yang melakukan observasi,” ujar Yusha Fitra Dani Manajer SP Soraya.
Namun kemungkinan karena sulitnya akses menuju lokasi SP Soraya ditambah tidak adanya jaringan komunikasi, signal putus di kawasan ini, menjadi stasiun tak banyak menarik minat peneliti. “Akses kita memang jauh hanya bisa melalui pengarungan sungai. Bisa dibilang SP Soraya berada di daerah terpencil.”
Menju SP Soraya dari SP Ketambe kita memang harus mengarungi sungai alas. Dari Ketambe dari jalur darat langsung menuju desa Salim Pipit, Kecamatan Babul Rahmah, Aceh Tenggara mengarungi sungai memaki perahu menuju SP Soraya di Desa Pasir Belo Kec. Sultan Daulat Kota Subulussalam, dengan lama perjalanan satu jam.
Selama pengarungan terlihat pemandangan menyedihkan. Kawasan hutan lindung yang berada di dua sisi sungai marak perambahan. Terlihat baru ada penebangan bahkan ada yang sudah jadi perkebunan kelapa sawit.
Dikatakan Dani, SP Soraya sangat banyak objek yang bisa diteliti, selain satwanya juga ada beragam jenis tumbuhan, serangga dan jamur. “Namun mungkin karena SP Soraya mulai dibangun kembali September 2016 lalu dan aktif di awal 2017, karenanya stasiun ini masih sepi peneliti,” ungkap Dani lagi.
Dikatakan Dani, bersama lima orang anggotanya, mereka siap menerima dan memfasilitasi para peneliti untuk meneliti di SP Soraya. Selain dirinya sebagai manajer, ada Ibrahim biasa dipanggil Profesor karena keahliannya mengenal ribuan jenis tanaman, sebagai asisten plot flanologi, marlan asisten monitoring dan dua boatman.
Soraya pertama kali dibuka pada tahun 1995 dimasa program ICDP. Areal penelitiannya berada dalam bekas konsesi HPH PT. Hargas Industries, Sehinga masih dapat diamati dengan jelas berbagai tipe kerusakan hutan akibat aktivitas penebangan (baik penebangan liar maupun HPH). Selain itu, kawasan ini juga cukup menarik untuk meneliti pengaruh kerusakan hutan terhadap tingkah laku dan keberadaan satwa.
Dituturkan Dani, kawasan hutan SP Soraya memiliki keragaman hayati sangat tinggi mewakili hutan dataran rendah di bagian Barat – Selatan Aceh dimana dijumpai satwa – satwa antara lain: orangutan sumatera (Pongo abelii), jenis primata lainnya yang banyak terdapat disana antara lain adalah kukang (Nyctecebus coucang), monyet ekor panjang (Macaca fscicularis), Beruk (Macaca Nemestrima), Kedih (Prysbitis thomasii), Sarudung (Hylobates Lar), dan Siamang (Hylobates syndactylus).
Selain primata, juga terdapat mamalia besar lainnya seperti Gajah sumatera (Elephas maximus sumateraensis), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatraensis), Macan Dahan (Neofelis nebulosa) dan Beruang Madu (Helarctos malayanus), kucing-kucing hutan, Burung Kuau Raja (Argusianus argus), dan ratusan jenis burung lainnya.
Vegetasi di daerah yang berbukit didominasi oleh pohon dari family Dipterocarpaceae, dikawasan tersebut juga masih sering ditemukan bunga terbesar di dunia yaitu Bunga bangkai (Amorphophalus sp.), Anggrek pohon maupun Angrek tanah, Keladi – keladian dan beberapa jenis palem.
Selain untuk tujuan penelitian, stasiun ini juga dapat berfungsi sebagai koridor satwa yang terkurung dari kawasan HPH menuju ke kawasan inti, serta sering dikunjungi tamu dan LSM dalam program penyadaran lingkungan. Stasiun penelitian soraya tidak aktif sejak tahun 2001 akibat konflik keamanan di Aceh yang kurang kondusif.
Pada bulan Agustus 2016 atas inistaif FKL yang menimbang perlunya memperkuat sistem pengamanan Kawasan Ekosistem Leuser di bentang Trumon – Bengkung, Stasiun Penelitian kembali diaktifkan kembali setelah ditandatangani MoU kerjasama dengan pihak Dinas Kehutanan Aceh. Selain mengaktifkan stasiun penelitian FKL juga mengoperasikan 2 tim patrol yang disebut Wildlife Protection Team (WPT) dari total 23 tim yang sudah beroperasi diseluruh Aceh.
Pada penelusuran selama sehari penuh, tim jurnalis bersama ranger binaan FKL menelusuri sebagian kecil kawasan SP Soraya. Sepanjang perjalanan kami menemukan beberapa bekas jalur logging atau perambahan hutan. Kami juga menemukan beberapa jerat yang dipasang pemburu liar.
Dahlawi, ranger senior yang menemani mengatakan, pada awal kembali dibukanya SP Soraya mereka menemukan ratusan jerat yang terpasang dan langsung dilakukan perusakan.
Bahkan tim menemukan tulang belulang gajah yang mati karena jeratan dipasang pemburu liar. “Saat kami temukan gadingnya telah hilang, kemungkinan diambil para pemburu. Gajah ini mati karena luka akibat menyeret pelampung jerat (dari balok kayu) sejauh sekira 50 meter dari lokasi awal pemasangan jerat hingga tempat dia mati. Sungguh kejam mereka,” kata Dahlawi tertunduk sedih.
Kerusakan hutan yang semakin masih, perburuan hewan dilindungi yang tak kunjung bisa dihempang, sementara KEL sebenarnya memiliki ribuan ragam objek yang bisa diteliti untuk kemaslahatan seluruh masyarakat di sekitarnya menjadi salah satu hal utama FKL mengaktifkan lagi kedua SP dan mengajak peneliti terutama dari lokal Aceh kembali aktif melakukan penelitian.
“Terlalu banyak sebenarnya manfaat bisa diambil dari penelitian di KEL bisa digali peneliti. Ini menjadi salah satu obsesi kita bersama kawan-kawan untuk bisa menggalakan kembali penelitian. Ayo mari meneliti ke Leuser,” ajak Manajer FKL, Rudi Putra, berharap KEL tetap lestari demi keberlangsungan mereka yang berada di sekitarnya.