BANDA ACEH (RA) – Puluhan mahasiswa duduk sambil membaca novel di sebuah warung kopi. Mereka sedang fokus mempraktekkan cara membaca cepat yang diajarkan seorang pemateri dalam Workshop Membaca Efektif. Tak hanya membaca satu buku, mereka juga diajarkan bagaimana cara membaca banyak buku dalam satu waktu.
“Harusnya ada workshop membaca, supaya gerakan membaca tak jadi kepentingan orang yang sekolah saja,” ujar Rektor Sekolah Menulis Dokarim, Fauzan Santa. Angan-angan yang diceritakannya di atas, adalah harapan untuk menciptakan sebuah gerakan literasi untuk generasi muda Aceh.
Ia sering sekali diundang menjadi pemateri pelatihan menulis. Namun tak pernah sekalipun ia diajak berbagi bagaimana cara membaca efektif. “Saya pikir, kurangnya minat baca disebabkan, tak ada yang pernah mengajarkan pada anak muda bagaimana cara membaca yang baik,” kata Fauzan Santa.
“Semua terfokus pada menulis,” katanya seraya melempar pandangan ke arah mahasiswa yang baru saja mendengarkan petuahnya soal menghasilkan tulisan bertema “Yuk, Menulis. Agar Dunia Tahu, Anda Pernah Ada” yang diikuti sekitar 25 peserta dari Dema Fisip UIN Ar-Raniry.
Ia teringat saat masih kuliah, ketika resensi buku menjadi sumber pendataan untuk biaya sekolah. “Dulu saya melakoni penulisan resensi buku. Saya membaca, kemudian menuliskan hasil bacaan saya, lalu mengirimkan ke salah satu surat kabar,” katanya.
Dari koran dia mendapatkan upah menulis resensi. Kemudian kliping koran itu ia kirimkan ke pernerbit. Oleh penerbit pun, ia kembali mendapatkan uang dan banyak buku sebagai hadiah. “Sampai akhirnya buku saya sudah banyak sekali, dan saya berhenti menulis resensi,” katanya tertawa. Terangnya, ia berhenti, karena buku yang dikirimkan penerbit bukan lagi sebagai hadiah, melainkan orderan resensi.
Kini, kata Fauzan, menulis resensi buku hampir tidak ada.peminatnya. Sebab, sudah tak ada lagi yang suka membaca resensi itu. “Tak ada yang mengatur soal adap membaca di sekolah hingga tradisi membaca pun tidak ada. Padahal, pengetahuan itu lahir dari membaca dan banyak mendengarkan. Bukan dari menulis,” ujarnya. Begitulah ia melihat pelatihan menulis yang selama ini digemparkan.
Ia menekankan agar peserta workshop banyak membaca contoh catatan harian sederhana yang menjadi sebuah bacaan sangat fenomenal dan mendunia. “Seperti Diary Of Anne Frank. Itu murni tulisan harian seorang anak SMA yang bersembunyi di atap loteng rumahnya yang bercerita soal perang,” kata Fauzan. Memulai dari buku harian, lanjutnya, juga akan memudahkan para peserta menulis banyak hal.
Ia berharap, peserta seminar memfokuskan diri untuk membaca agar tulisan yang disajikan dapat menjadi umur kedua setelah mereka tiada. “Paling tidak, tulisan kita bisa jadi penggerak sebuah peradaban,” harapnya. (mag-77/rif)