MEUREUDU (RA) – Sejumlah masyarakat Pidie Jaya (Pijay), terus keluhkan proses rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan korban gempa.
Kali ini, sederet masalah diungkap ke publik diantaranya pungli, mark up hingga permintaan biaya pembuatan gambar rumah.
Sebelum dibeberkan ke media, warga sempat melayangkan keluhannya ke Kelompok Masyarakat (Pokmas), Konsultan Manajemen (KM) hingga pemerintah setempat.
Rusli AR, warga Gampong Rheng Krueng, Meureudu rumahnya rusak berat saat gempa melanda. Bantuan pembangunan rumahnya senilai Rp85 juta.
Dipotong pengurus Pokmas dalam dua tahap pencairan dana sebesar Rp 2.950.000, alasannya untuk pembuatan laporan. Potongan berikutnya, Rp110 ribu untuk uang minum orang kantor. Berikutnya, sumbangan anak yatim Rp100 ribu.
“Selain itu ada juga pemotongan 1.5 persen untuk transportasi pengurus Pokmas,” sebut Rusli, Senin (31/12/2018).
Ia juga memperlihatkan rekapan jumlah barang yang telah dibelanjakan dan dana yang telah dihabiskan Pokmas.
Akibat pemotongan, dirinya terpaksa harus berutang untuk mengerjakan rumahnya itu.
Rusli juga mengaku, Pokmas yang mengelola bantuan melakukan pengelambungan harga barang dan jumlah barang yang dipasok untuk rumahnya.
Menurutnya, jumlah barang yang diterimanya dangan catatan barang yang diberikan pengurus Pokmas padanya sangat jauh berbeda. Dan setiap kali Rusli meminta faktur pembelian, pengurus Pokmas tidak pernah memberikannya, dengan alasan penerima manfaat tidak berhak mengetahui dan memegang faktur.
“Harga barang dinaikan dari harga pasaran. Begitu juga dengan jumlahnya tidak sesuai dengan yang dicatat oleh pemilik rumah dengan pengurus Pokmas,” jelas Rusli.
Tak berakhir hingga di situ, ia juga mengaku mendapat ancaman jika membocorkan ini ke publik.
Bantuan Dipersulit
Keluhan lainnya datang dari M. Harun, korban gempa asal Gampong Deah Teumanah, Kecamatan Trienggadeng. Ia mengaku dipersulit saat proses pencairan tahap ketiga.
Sebab menurutnya, sebagai penerima manfaat yang masuk katagori rusak berat, ia harus membuat gambar sendiri. Namun, gambar rumah yang harus dibuat di tengah jalan tersebut, diharuskan dibuat oleh konsultan pendamping.
“Konsulatan Pendamping minta Rp2,5 juta untuk pembuatan gambar. Sebab jika dibuat sendiri, takut tidak diterima dan persulit mereka. Saya tidak tawar dengan harga Rp1,7 juta supaya tidak tidak dipersulit pencairan dana tahap ke tiga,” kata Harun.
Anehnya, saat proses pencairan tahap ketiga, ia dipaksa harus menambah Rp500 ribu lagi untuk pembuatan gambar tersebut. Setelah disangupi permintaan tambahan dana, dirinya harus membuat gambar lain. Pasalnya rumah yang dibangun tidak sesuai dengan gambar yang dibuat konsultan.
“Pertama Rp1,7 juta sudah saya setujui, tapi mereka minta tambah lagi Rp500 ribu, yang katanya untuk orang kabupaten. Sekarang saya merasa sangat dipersulit, karena gambar yang mereka buat tidak seuai dengan rumah yang dibangun. Apakah seperti ini yang harus kami terima,” keluhnya.
Hingga berita ini diturunkan, Kalak BPBD Pidie Jaya, M Nasir belum dapat dihubungi. Saat upaya konfirmasi dilakukan, bersangkutan menolak telpon. (mag-78/mai)