BANDA ACEH (RA) – Komisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Aceh, menolak pengembangan pelabuhan oleh PT. Mifa Bersaudara, sampai adanya perbaikan Amdal tersebut.
Rencana pengembangan fasilitas pelabuhan khusus PT Mifa Bersaudara di Gampong peunaga Cut Ujong, Kecamatan Meureubo, Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, dan di Gampong Suak Puntong, Kecamatan Kuala Pesisir, Kabupaten Nagan Raya. Hal ini terungkapkan dalam sidang bersama komisi Amdal Aceh di Aula DKLH, Selasa (9/7), terpaksa dipending untuk disetujui sampai ada perbaikan amdalnya.
“Paling tidak ada 10 alasan Addendum Pengembangan Pelabuhan PT. Mifa ditolak pada sidang komisi Amdal,” ujar Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur, Selasa (9/7).
Dikatakannya, alasan penolakan pertama disebabkan kajian masalah debu sebagai dampak penting telah diabaikan, selain itu tidak ditemukan kajian tentang ekositem laut.
“Kalau hanya menyuplay batu bara ke PLTU 1-2 dan PLTU 3-4 mestinya diajukan pengembangan melalui jalur darat Over Land Conveyor dari stockpile port MIFA menuju PLTU Nagan Raya 1-2 sepanjang 800 meter tanpa perlu kegiatan pengembangan,” jelasnya.
Menurutnya, masalah debu terutama di musim kemarau sudah cukup mengganggu kesehatan warga, di mana kasus kesehatan dominan ISPA mengalami peningkatan dari 260 kasus menjadi 346 kasus, kondisi ini menunjukan bahwa kualitas yang udara buruk akibat debu yang diangkut melalui darat mencapai 15 trip setiap harinya.
“Disamping itu dalam dokumen addendum AMDAL ditemukan 72 % warga menolak kegiatan pengembangan PT MIFA. Hanya 27 % masyarakat yang menerima, itupun dengan syarat adanya perbaikan pengelolaan dampak negatif.
Meskipun dalam dokumen addendum AMDAL disebutkan sudah dipasang jaring perangkap debu, akan tetapi masih kurang efektif meredam debu mengingat banyaknya debu yang diakibatkan oleh aktifitas perusahaan dan kencangnya angina di lokasi tersebut,” paparnya.
Untuk itu Walhi Aceh, meminta kepada pihak pemerintah Aceh Barat dan Nagan Raya bersama Pemerintah Aceh untuk menyelesaikan persoalan relokasi penduduk yang terdampak polusi akibat aktivitas PT MIFA Bersaudara maupun PLTU.
Sampai saat ini MIFA mengatakan sudah membebaskan lahan warga seluas 12,9 km dengan lebar 50 meter di sekitar rencana kegiatan pengembangan, maka Walhi Aceh meminta MIFA untuk segera mengumumkan lahan siapa yang sudah dibebaskan.
“WALHI Aceh mendorong warga untuk memperjuangkan haknya atas tanah melalui notaris dan advokat masing-masing, karena masalah lahan adalah masalah pribadi dengan perusahaan yang mestinya selesai sebelum Dokumen Addendum diajukan ke Komisi AMDAL,” ungkapnya.
Walhi Aceh sebagai lembaga anggota penilai AMDAL mendukung penundaan Addendum Rencana Pengembangan Fasilitas PT MIFA yang dinilai belum memenuhi kajian dan komitmen perusahaan dalam menjaga lingkungan hidup baik di laut dan udara, dan hak-hak warga sebagai korban aktiftas PT. MIFA.
“Selama ini PT MIFA dianggap kurang peduli dengan kualitas udara bagi warga sekitar yang seharusnya menjadi tanggungjawab perusahaan termasuk mengusut tuntas kasus tumpahnya batu bara di Lhok Nga dan Meulaboh.
Karena di addendum Amdal PT. MIFA telah menyuplay batu bara ke PT Lafarge sejak tahun 2012 lalu sampai saat ini, sehingga Negara mestinya punya tanggung jawab melakukan kontrol terhadap industri batu bara,” kata Muhammad Nur. (mur/adi)