HARIANRAKYATACEH.COM – LSM Atjeh Social Community menggelar FGD tentang kilas balik projek Instalasi Pengelohan Air Limbah (IPAL) Kota Banda Aceh yang rencananya di bangun di Gampong Jawa. Persoalan ini belum selesai, bahkan perencanaannya sudah lama dilakukan sejak tahun 2012 lalu.
Proyek ini dari Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian PUPR, yang anggarannya sekitar 1.5 triliun.
Dr Tgk Damanhuri Basyir, Ketua MPU Kota Banda Aceh mengatakan, bila bicara makam atau situs tidak terlepas dari kematian dan mayat. Masalah makam adanya dari kematian. Sehingga perlu adanya situs cagar budaya yang harus dipugar. Tentu situs cagar yang punya nilai sejarah.
“Tidak semua situs menjadi cagar budaya yang perlu dilestarikan, kecuali adanya makam makam para ulama di tempat tersebut,” jelas Dosen Fakultas Ushuluddin UIN ini.
Begitu juga lanjutnya, mayat seseorang boleh dipindahkan bila belum berubah jasadnya. Selain itu, tanahnya karena bukan milik keluarga, mayat tidak menghadap kiblat, otopsi untuk kebutuhan hukum.
“Dalam hal pembangunan juga demikian kemaslahatan umat dan mayat,” ungkapnya.
Dikatakan, dalam pembangunan IPAL di Gampong Jawa, apakah ada mayat atau tulang belulang perlu dipastikan.
“Apa ada mayat di bawahnya kita tidak tahu,” jelasnya lagi.
Diakuinya situs cagar budaya di Kota Banda Aceh, begitu banyak ada di beberapa tempat yang perlu lestarikan.
“Kalau untuk pembangunan IPAL saya pikir itu tetap jalan,” kata Tgk Damanhuri.
Hal yang sama PPK di Balai Prasarana Permukiman Wilayah Aceh, Nazaruddin, menyampaikan, perencanaan pembangunan IPAL ini sudah lama diprogramkan. Kenapa dipilih di gampong jawa, karena lahan di Kota Banda Aceh ada di Gamping jawa.
“Pembangunan IPAL ini sebagai zona dua, yang termasuk padat jumlah penduduk, IPAL untuk pembuangan limbah supaya bisa lebih aman dan dirasakan maayarakat,” ungkapnya.
Pembangunan IPAL lanjutnya, tidak serta merta jadi, perlu program dan perencanaan yang matang, sehingga pusat yakin bisa mengucurkan anggaran tersebut.
“Program ini sudah dibahas pada masa almarhum pak Mawardi Nurdin,” jelasnya.
Begitu juga harus punya master plan awalnya dalam melakukan pembangunan.
“Kalau kita bangun juga perlu master plannya,” ungkapnya.
Dikatakan, tidak hanya PUPR saja membuat perencanaan, syarat mutlak salah satunya ada lahan. Ini juga pernah dibahas ditingkat Bappeda, PUPR, tokoh masyarakat dan muspika.
Anggota Komisi III DPRK Banda Aceh, Sabri Badruddin, mengatakan, banyak pemberitaan dalam pembangunan IPAL di Gampong Pande, padahal pembangunannya di Gampong Jawa, komplek TPA sekarang, dengan luas 237 hektar.
Ia mengatakan, di negara negara maju sudah membangun IPAL, hal ini juga untuk kemajuan anak cucu di kemudian hari dengan pembangunan tersebut.
“RTRW juga sudah dibahas tidak menyalahi,” bebernya.
Sementara itu, Budayawan Aceh, Tarmizi A Hamid, mengatakan, persoalan ini sudah pernah dibahas sebelumnyadan terhenti di tahun 2017.
“Sekarang muncul lagi, sepertinya pembahasan kita itu itu saja,” jelasnya.
Cek Midi panggilan akrabnya menyampaikan, perlunya qanun tentang cagar budaya di Kota Banda Aceh, dalam menyelamatkan situs situs budaya.
“Ada beberapasitus budaya seperti Masjid Raya, Taman Gunongan, Blang padang dan tempat bersejarah lainnya di Kota Banda Aceh,” paparnya.
Kegiatan ini berlangsung di 3 in 0ne Banda Aceh, dan dipandu Razikin Kandang. (rus)