Fenomena Kesehatan Gigi dan Mulut di Aceh
Perbesar
drg Armi Amanda Daulay
Oleh: drg Armi Amanda Daulay
Kesehatan merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia mengingat bahwa dengan hidup sehat, setiap orang akan dapat melakukan aktivitas secara optimal untuk mencapai tujuan hidupnya. Sehubungan dengan hal tersebut, status kesehatan menjadi cerminan kualitas sumber daya manusia dan tentu menjadi landasan utama untuk mencapai pembangunan nasional.
Selain kesehatan tubuh secara umum, kesehatan gigi dan mulut juga tidak kalah penting untuk diperhatikan. Akan tetapi hingga saat ini, kesehatan gigi dan mulut belum menjadi prioritas kesehatan di Indonesia dan cenderung menjadi masalah kesehatan masyarakat yang terabaikan (Suratri et al., 2021; Yap, 2017). Padahal menurut World Health Organization (WHO), kondisi kesehatan gigi dan mulut sangat mempengaruhi kualitas hidup dan produktivitas seseorang, dimana seseorang yang memiliki gangguan pada gigi dan mulut akan sangat terbatasi kapasitasnya untuk dapat mengunyah, menggigit, tersenyum, bahkan berinteraksi secara verbal (WHO, 2013).
WHO secara rutin telah menerapkan sistem surveilans epidemiologi terhadap kesehatan gigi dan mulut sejak tahun 1971, serta menyepakati bahwa masalah kesehatan masyarakat yang berkaitan gigi dan mulut merupakan beban serius di dunia. Surveilans tersebut kemudian menunjukkan adanya peningkatan tren penyakit gigi dan mulut, berikut dengan tingkat keparahannya, dari tahun ke tahun (WHO, 2013). Hingga pada tahun 2022, WHO (2022b) menyebutkan bahwa hampir setengah dari populasi dunia yang diestimasikan sebanyak 3,5 milyar penduduk sedang menderita penyakit gigi dan mulut, dimana 3 (tiga) dari 4 (empat) penderitanya berasal dari negara berpendapatan menengah ke bawah, termasuk Indonesia sebagai negara dengan pendapatan menengah.
Sebagaimana disampaikan oleh WHO (2022), hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 juga menunjukkan bahwa lebih dari setengah penduduk Indonesia, yaitu sebesar 57,6%, telah mengalami masalah kesehatan gigi dan mulut di semua kelompok usia (Kemenkes RI, 2019b).
Tingginya prevalensi masalah kesehatan gigi dan mulut di Indonesia juga tercermin dari tingginya prevalensi karies gigi yang mencapai 88,80% dan periodontitis mencapai 74,10% (Kemenkes RI, 2019b). Menurut Ikatan Konservasi Gigi Indonesia (2021), hingga pada tahun 2021, kurang lebih 60% anak-anak telah mengalami karies gigi, bahkan angka ini dapat menyentuh angka 90% mengingat bahwa 99% masyarakat Indonesia mengonsumsi karbohidrat sebagai makanan pokok sehari-hari dan menjadi salah satu penyebab munculnya karies.
Sama halnya dengan proporsi global dan nasional, di Provinsi Aceh, lebih dari setengah penduduknya, yaitu sebesar 55,34%, juga mengalami masalah gigi dan mulut pada tahun 2018 (Kemenkes RI, 2019a). Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Cut Soraya, juga menyebutkan bahwa prevalensi karies gigi di Provinsi Aceh telah mencapai 80% pada tahun 2019 (Surry & Suryatmojo, 2019). Selanjutnya pada tahun 2021, jumlah masalah gigi yang tercatat di Provinsi Aceh sebanyak 131.005 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, 2022).
Kota Banda Aceh merupakan salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Aceh dengan jumlah masalah gigi paling tinggi ketiga setelah Kabupaten Pidie dan Aceh Timur, yaitu sebanyak 21.704 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, 2022). Hal ini tentu menjadi penting karena mengingat bahwa Banda Aceh merupakan ibukota provinsi sehingga tingkat produktivitasnya merupakan produktivitas tertinggi dibandingkan dengan kabupaten atau kota lainnya, baik dalam hal pertumbuhan ekonomi, kualitas pendidikan, kesehatan, sosial dan infrastruktur (Bappenas, 2019; Meliza & Murtala, 2020).
Sehubungan dengan hal tersebut, sebagaimana telah disebutkan oleh WHO (2013), apabila sebagian besar warga Banda Aceh memiliki masalah kesehatan gigi dan mulut, maka kapasitas terutama pada aspek verbal akan sangat terbatas dan tentunya akan berdampak pada penurunan produktivitas sumber daya manusia. Produktivitas yang menurun tentu akan menjadi kendala besar dalam menjawab tantangan pembangunan daerah yang sebelumnya telah berjalan dengan baik.
Menurut Permenkes Nomor 89 Tahun 2015, perilaku yang berkaitan dengan pemeliharaan gigi dan mulut salah satunya adalah kunjungan ke pelayanan kesehatan untuk memeriksakan gigi dan mulut. WHO (2022a) mengemukakan bahwa dari 3,5 milyar penduduk yang menderita masalah kesehatan gigi dan mulut, 2,5 milyar di antaranya disebabkan oleh tidak dilakukannya perawatan dan pemeliharaan rutin pada gigi dan mulut.
Survei kesehatan gigi dan mulut yang dilakukan di Indonesia juga menunjukkan bahwa 7 (tujuh) dari 10 (sepuluh) orang dewasa memilih untuk tidak mengunjungi tenaga medis gigi, dengan alasan khawatir tertular penyakit atau tidak memiliki kesempatan (Kemenkes RI, 2021). Kunjungan masyarakat Banda Aceh untuk memeriksakan gigi ke tenaga medis gigi juga sangat rendah. Hasil Riskesdas tahun 2018 menunjukkan bahwa sebanyak 95,64% masyarakat Banda Aceh mengaku tidak pernah melakukan kunjungan ke tenaga medis gigi (Kemenkes RI, 2019a).
Salah satu faktornya adalah minat yang rendah untuk mengunjungi tenaga medis gigi ditemukan hampir di semua kalangan masyarakat, tidak hanya pada masyarakat yang awam pada umumnya, akan tetapi juga pada masyarakat yang sedang atau pernah menempuh pendidikan.
Hal ini terlihat pada Riskesdas tahun 2018 dimana proporsi masyarakat berpendidikan diploma hingga perguruan tinggi yang rutin melakukan perawatan dan konseling terkait kesehatan gigi dan mulut hanya sebesar 15,2%, dengan kata lain, terdapat 84,8% dari masyarakat tersebut yang tidak rutin atau bahkan tidak pernah melakukan perawatan gigi dan mulut (Kemenkes RI, 2019b).
Di Kota Banda Aceh, hasil Riskesdas tahun 2018 juga menunjukkan bahwa hanya 6,36% masyarakat berpendidikan diploma hingga perguruan tinggi yang pernah melakukan kunjungan ke tenaga medis gigi (Kemenkes RI, 2019a), padahal menurut Bappenas (2019) tingkat ketersediaan dan keterjangkauan fasilitas pelayanan kesehatan di Banda Aceh termasuk sangat baik. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan bukan menjadi faktor signifikan yang mempengaruhi minat masyarakat dalam melakukan perawatan gigi dan mulut di pelayanan kesehatan.
Harapan saya kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan kesehatan gigi dan mulut, sebab salah satu faktor penyumbang terjadinya stunting pada anak juga disebabkan oleh kesehatan gigi dan mulut yang dapat mengganggu asupan gizi pada anak usia tumbuh kembang melalui permenkes yang saat ini belum ada fokus khusus terhadap alur promosi kesehatan gigi dan mulut.
Melalui permenkes kemudian di turunkan kepada peraturan provinsi hingga sampai kepada peraturan daerah yang jelas sehingga ini berkaitan dengan anggaran yang jelas. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku heran ketika anggaran ganti pagar Puskesmas dimasukkan ke dalam kategori stunting. Menurutnya, penanganan stunting memiliki anggaran hingga Rp 77 triliun dengan 283 subkegiatan.
Sayangnya dari angka tersebut, biaya paling tinggi kedua diserap untuk koordinasi, yakni Rp 240 miliar. Dia menyayangkan bahwa item paling penting, yakni memberikan makanan bagi anak dan ibu hamil dalam rangka mencegah hanya Rp 34 triliun. Menurutnya, itu porsi yang sangat kecil, melihat koordinasi tadi. Harusnya aggaran untuk promosi kesehaan juga di atur jelas apa saja yang masuk dalam item penanganan kasus stunting, agar tepat dalam proses pelaksaanaanya.
Tidak hanya catatan imunisasi lengkap yang terdapat di buku KIA akan tetapi catatan pemeriksaan rutin sekali 6 bulan juga menjadi skrining awal pada anak bayi dan dan balita guna intervensi lebih lanjut terkait masalah kesehatan gigi dan mulut pada anak.
Pelatihan pada kader posyandu juga bukan hanya sekedar mengkur tinggi, berat badan, lingkar kepala serta lingkar lengan, akan tetapi pada saat di lakukan posyandu, harusnya ada meja layanan konsultasi terkait edukasi terkait kesehatan gigi dan mulut pada anak. Jika kader tak mampu menjawab, bisa di anjurkan untuk konsultasi lebih lanjut melalui layanan konsultasi gigi dan mulut via online.
Saya yakin jika pemerintah juga serius dalam menangani hal ini, angka stunting juga akan turun di Aceh, sehingga kita dapat memutus rantai peningkatan angka stunting lewat promosi kesehatan gigi dan mulut bagi.
Saya berharap Pemerintah fokus pada promosi kesehatan lebih di tingkatkan lagi bukan hanya pada anak usia sekolah, tapi dimulaii sejak anak lahir diberikan edukasi kepada ibu yang baru melahirkan bagaimana merawat dan membersihkan gigi pada anak baru lahir dengan menggunakan kassa steril yang dibalut di jari telunjuk ibu, kemudian gusi bayi dibersihkan dengan kassa tersebut.
Untuk anak yang baru tumbuh gigi pada usia 6 bulan diboleh menggunakan sikat gigi yang berbentuk silikon.
Penulis, Mahasiswa Magister Kesehatan USK dan Staf Fakultas Kedokteran Gigi USK Bagian Ilmu Kesehatan Gigi dan Mulut serta Pencegahan (IKGM-P).
Artikel ini telah dibaca 443 kali
Baca Lainnya
Trending di OPINI