“Smong dumek-dumek mo (Smong mandi-mandi mu), linon uwak-uwak mo (gempa ayun ayunan mu), eklaik kedang-kedang mo (petir gendang-gendang mu) dan kilek suluh-suluh mo (kilat suluh-suluh mu)”
SEKITAR 140 tahun yang lalu, pada tahun 1883 Pulau Simeulue pernah dilanda prahara dahsyat, yaitu peristiwa bencana alam terbesar pada waktu itu yang dikenal masyarakat dunia sebagai peristiwa tsunami yang melanda berbagai wilayah belahan dunia, terutama sekitar Asia Tenggara dan Australia tepatnya mulai dari Selatan Pulau Jawa hingga belahan Barat Pulau Sumatera. Peristiwa tersebut Minggu tanggal 27 Agustus 1883 sekitar pukul 10.02 WIB.
Berselang 24 tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 4 Januari 1907, hari Jumat. Terjadi lagi peristiwa dahsyat yang sama, yaitu peristiwa tsunami yang diawali dengan terjadinya gempa bumi berkekuatan diperkirakan sekitar 7,5-8 skala richter atau magnitudo 7,8, dengan pusat gempa di sebelah barat Pulau Nias atau sebelah Selatan Pulau Simeulue. kemudian disusul dengan surutnya air laut dan berikutnya secara tiba-tiba muncul gelombang raksasa dan kemudian memecah, melanda serta menenggelamkan daratan, sehingga menimbulkan korban jiwa, harta benda dan kerugian materil lainnya.
Tidak ada catatan pasti yang diketahui penduduk, berapa korban jiwa pada tragedi itu, kecuali hanya kisah dan cerita yang tinggai dan tertanam sangat dalam dihati dan pikiran penduduk pada waktu itu tentang betapa dahsyatnya peristiwa tersebut. Sementara dari salah satu literatur berbahasa Inggris disebutkan bahwa korban tsunami pada tahun 1907 tersebut di Pulau Simeulue tercatat 1.818 orang yang terdiri dari wilayah Tapah/Teupah 1.205 orang, wilayah Simölöl 431 orang, wilayah Salang 130 orang dan 52 orang.
Tragedi tsunami 1907 tersebut oleh masyarakat menyebut nya dengan istilah “Smong”, sebuah kosakata asli dari bahasa Simeulue yang artinya adalah gelombang yang sangat besar dan bergerak menuju daratan dan menimbulkan suara menderu dan mendengung. Demikian terjemahan bebasnya.
Pasca peristiwa tsunami atau Smong 1907 tersebut, dari penduduk yang selamat mulai populer dikenal istilah Smong, berikut dengan berbagai cerita tentang kejadian yang mereka alami, mereka lihat dan mereka rasakan, dimulai dari gempa yang luar biasa kuat, seketika air laut surut, ikan-ikan yang terdampar dan menggelepar dibibir pantai, sehingga penduduk berlarian kepantai untuk memungut ikan-ikan tersebut, ternak ternak kerbau yang ada dipantai terlihat gelisah dan akhirnya bertarian kearah perbukitan dan gunung
Dikisahkan Sementara penduduk sedang asyik-asyiknya memungut ikan-ikan, tanpa mereka sadari dari kejauhan muncul gelombang yang besar dengan menimbulkan suara menderu dan mendengung menuju daratan seperti layaknya perlombaan maut. Seketika gelombang tersebut memecah melanda dan menenggelamkan serta menghanyutkan penduduk yang berada dipantai, melanda bangunan perumahan yang ada serta merusakmusnahkan harta benda penduduk lainnya.
Dua kali traumatik sudah cukup membuat leluhur masyarakat simeulue meyakini bahwa tanah kelahiran mereka adalah wilayah rawan bencana keyakinan tersebut semata-mata oleh kesadaran naluriah untuk mempertahankan diri dan keturunannya dan beradaptasi pada alam dengan mewariskan berita smong dan tanda ye mendahuluinya.
Fenomena-fenoman alam yang terjadi dan pengalaman-Pengalaman yang dialami penduduk yang selamat dari peristiwa tersebut begitu melekat dan mendalam dalam ingatan mereka sehingga menjadi me mori kolektif yang akhirnya mereka jadikan bahan cerita, terutama dikalangan ibu2 kepada anak2nya atau seorang nenek kepada cucunya menjelang tidur. Seni tutur dalam menyampaikan cerita atau kisah tersebut dalam kosakata Simeulue disebut “Nafi-Nafi”.
Bencana yang dialami memang menimbulkan trauma, namun menggugah kesadaran untuk berbuat sesuatu kepada generasi berikutnya. waktu telah membuktikan, smong yang diwariskan melalui budaya tutur telah menyelamatkan generasi selanjutnya dari bencana yang lebih besar. leluhur masyarakat simeulue telah merubah trauma menjadi berkah.
Apa saja yang menjadi pesan-pesan “Smong” dari leluhur Simeulue terdahulu untuk generasi kita saat ini sehingga menjadi sebentuk kearifan lokal masyarakat di Simeulue? Petuah-petuah tersebut sederhana sekali. Pertama: Jika terjadi gempa yang sangat kuat. Kedua: Dan air laut seketika surut. Ketiga: Serta ternak kerbau dan hewan lainnya dipantai gelisah. Keempat: Jangan memilih ikan kepantai. Kelima: Segera selamatkan diri ketempat yang tinggi, bukit atau gunung, sembari berteriak: smong… smong…smong… . Keenam: Karena sebentar lagi akan datang Smong.
Pesan sederhana ini telah menjadi sebentuk collective awareness masyarakat yang diterima dari para leluhur melalui media seni tutur “Nafi-Nafi”. Selain dari pesan2 tersebut, ada pesan lain yang bernuansa filosofis, yaitu apa yang dikenal dengan pepatah atau ungkapan sebagai berikut:
“Smong dumek-dumek mo (Smong mandi-mandi mu), linon uwak-uwak mo (gempa ayun ayunan mu), eklaik kedang-kedang mo (petir gendang-gendang mu) dan kilek suluh-suluh mo (kilat suluh-suluh mu)”
Terkait dengan pesan filosofis ini, bisa jadi yang dimaksud oleh leluhur terdahulu adalah untuk membangun keteguhan dan kesigapan masyarakat dalam menghadapi keempat fenomena alam yaitu; smong, linon, eklaik dan kilek dan kemudian mengkonstruk semacam pantun atau ungkapan tersebut diatas.
Secara alamiah hal ini dikarenakan masyarakat Simeulue tidak mungkin menghindar dari keempat fenomena alam tersebut tetapi harus berhadapan dengannya yang menjadi kekhasannya sebagai kepulauan, sehingga perlu dibangun ketegufian sikap mental, ketenangan (tidak panik) dan keberanian dalam menyikapi dan menghadapi fenomena alam tersebut yang sewaktu-waktu bisa saja terjadi.
Firman ALLAH SWT DALAM SURAT AL-HADID 22;
MA ASABA MIM MUSIBATIN FIL ARDHI WA LA FI AMFUSIKUM ILLA FI KITABIM MING QABLI AN NABRA’ AHA, INNA ZALIKA ALLALLAHI YASIR (SETIAP BENCANA YANG MENIMPA PADA BUMI DAN YANG MENIMPA PADA DIRIMU SENDIRI, SEMUA TELAH TERTULIS DALAM KITAB (LAUH MAHUZH) SEBELUM KAMI MEWUJUDKANNYA SUNGGUH, YANG DEMIKIAN ITU MUDAH BAGI ALLAH.
Terpaut 97 tahun pasca tragedi Smong 1907, terjadi lagi tragedi yang sama yaitu peristiwa Smong tanggal 26 Desember tahun 2004 bertepatan pada hari Minggu sekitar pukul 07:58:53 wib yang dipicu oleh gempa tektonik dengan kekuatan antara 9,1-9,3 pada Skala Richter dengan epicentrumnya berada pada kordinat 3.316 N-95.854° E lepas pantai Barat Sumatera atau sekitar 41 Mil Laut dari gugus Pulau Selaut Besar dan Selaut Kecil wilayah Kecamatan Alafan, Kabupaten Simeulue.
Peristiwa yang disebut dengan tsunami Aceh ini tergolong bencana alam terdahsyat di era modern ini dengan korban jiwa mencapai 230.000-280.000 jiwa, 14 negara terdampak dan yang terparah adalah Indonesia, Sri Lanka, India dan Pakistan. Menurut para ahli, gempa yang menimbulkan Smong tersebut tidak terjadi demikian tiba-tiba saja, tetapi melalui proses terjadinya gempa pembuka (foreshocks) saat terjadi gempa Simeulue dengan magnitudo 7,0 pada tanggal 2 November 2002. (Sumber: Bidang Mitigasi dan Gempa Bumi BMKG).
Allah Maha Kuasa dan Maha Berkehendak, bahwa pada peristiwa dahsyat Smong 2004 tersebut karena berdekatan dengan epicentrum gempa, Pulau Simeulue yang mulanya dianggap hilang atau terdampak parah, jumlah korban jiwanya tercatat 7 orang, terdiri dari 3 orang korban langsung dampak Smong dan 4 orang meninggal dipengungsian karena sakit dan usia lanjut, disamping rusak dan hancurnya perumahan penduduk, gedung2 pemerintah dan prasarana sekolah serta infrastruktur jalan dan jembatan dan sebagainya.
Pada peristiwa Smong 2004 lalu, rata-rata warga di Simeulue yang telah memiliki collective awareness menghadapi bahaya Smong yang diperoleh dari petuah leluhur Simeulue melalui Nafi-Nafi, secara serentak tanpa komando terus bertindak cepat melakukan penyelamatan diri setelah memperhatikan tanda-tanda alam yang terjadi.
Sedikitnya korban jiwa tentu karena kekuasaan Allah Aza wajalla semata, ilmu yang diperoleh dari leluhur terdahulu tentang penyelamatan dan pengurangan resiko bencana sehingga penduduk bisa cepat bertindak juga berkat ilmu yang diturunkan Allah swt melalui tragedi Smong 1907. Dari itu muncul lah pengetahuan dan filsafat tentang penyelamatan diri dari bencana alam gempa bumi yang disusul datangnya Smong yang dewasa ini disebut dengan mitigasi bencana atau pengurangan resiko bencana.
Pengetahuan tersebut akhirnya menjadi sebuah kearifan yang berbasis budaya telah dikenal oleh dunia. Adalah UN-ISDR organisasi dibawah naungan PBB dan mitigasi bencana yang telah memberikan sebentuk award kepada masyarakat Simeulue yang bernama “SASAKAWA AWARD” pada tahun 2005, atas masyarakat Simeulue yang mampu melakukan tindakan pengurangan bencana dengan mempraktekkan budaya leluhur pada peristiwa Smong tersebut, sehingga mampu menekan jatuhnya korban jiwa yang tentunya dan ridha Allah swt.
Sedangkan Pemerintah Republik Indonesia juga telah pula memberi penghargaan terhadap kearifan lokal “Budaya Smong” tersebut dengan menjadikannya warisan Budaya Tak Benda pada tahun 2022 yang lalu.
Kesimpulan dari “Dari Bencana Melahirkan Kearifan Lokal” ini, yakni
1. Dari sebuah bencana yang didatangkan Allah swt, Pada peristiwa Smong yang terjadi Allah maha berkuasa dan berkehendak terhadap segala sesuatu atas kehendak NYA lahirlah sebuah pengetahuan tentang Pengurangan Risiko Bencana Atau mitigasi Bencana berbasis Tradisi sebagai kearifan lokal yang tidak kalah efektifnya dengan peralatan dan tehnologi canggih
2. Smong dapat dilihat dari beberapa sudut pandang Sebagai berikut; Pertama, Sebagai kosakata Simeulue yang berarti gelombang besar, Kedua pula dapat pula dilihat dari aspek historis sebagai sebuah tragedi bersejarah dan Ketiga, juga sebagai sebuah budaya yang menyelamatkan dan telah diakui dunia.
3. Kearifan yang terkonstruk berdasarkan pengalaman pahit Smong yang berulang kali pada masa lalu mejadikan semakin teguhnya keyakinan masyarakat Simeulue akan Keagungan Ilahi serta musibah seperti bencana Smong dapat pula dijadikan sebagai wahana pembersih jiwa.
4. Oleh karena itu, komitmen masyarakat untuk melestarikan budaya Smong sebagai anugrah Allah SWT, adalah juga merupakan refleksi dan bentuk rasa syukur kita kepada Allah Penguasa Alam, Al-Muqtadir.
Demikianlah tulisan ini dibuat dalam rangka memperingati dan sebagai refleksi terhadap kebesaran Ilahi melalui peristiwa Smong vang terjadi pada tahun 2004 yang lalu. Semoga tulisan ini bermanfaat adanya. (ahi/hra)
Catatan: Mohd Riswan R, sering disapa Moris.
Empat orang putra putrinya, meninggal dunia dan tidak ditemukan jasadnya saat tragedi tsunami (Smong) 2004 silam, di Banda Aceh.
Nama anak:
1. Juliano, 23 Tahun
2. Riska Sri Muliati, 20 tahun
3. Riski Sri Refita, 19 tahun
4. Yeni Oktriani, 18 tahun