class="post-template-default single single-post postid-115182 single-format-standard wp-custom-logo" >

Menu

Mode Gelap
Pj Keuchik Belum Dicopot, Kisruh Tumpok Teungoh Belum Berakhir Ilmuwan Berhasil Kembangkan Otak Simpanse Tercanggih Ratusan Tenaga Non-ASN Desak Diangkat P3K Penuh Waktu DPR Aceh Segera Panggil BKA PNL dan PGE Sepakat Pengembangan SDM Migas Unggul Pj Wali Kota dan Kapolres Lhokseumawe Ikut Vicon Rakor Ketahanan Pangan 2025

OPINI · 28 May 2024 16:39 WIB ·

Awas, DBD Mengancam! Apa Strategi Promosi Kesehatan yang Paling Tepat?


 Aqlima Yanti Perbesar

Aqlima Yanti

Oleh : Aqlima Yanti (Mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat tahun 2023 USK) dan Dr.H.Said Usman,S.Pd.,M.Kes (Dosen Magister Kesehatan Masyarakat USK)

MEMASUKI musim penghujan, kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) mengalami peningkatan signifikan di Indonesia, dengan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan lonjakan tiga kali lipat pada kuartal pertama tahun 2024 dibandingkan tahun sebelumnya. Direktur P2PM Kemenkes, Imran Pambudi, mencatat bahwa pada minggu ke-12 tahun 2024, terdapat 43.271 kasus DBD dan 343 kematian, dibandingkan dengan 17.434 kasus dan 144 kematian pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Jawa Barat mencatat jumlah kematian akibat DBD tertinggi per Februari 2024, dengan total 94 kematian, diikuti oleh Jawa Tengah dengan 77 kematian, dan Jawa Timur dengan 37 kematian. Kemenkes memperkirakan peningkatan kasus DBD akan berlanjut tahun ini, terutama karena perubahan curah hujan dan fenomena El Nino yang sulit diprediksi, menurut Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono.

Bagaimana dengan data di Aceh? Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Banda Aceh, tercatat ada 186 kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Banda Aceh sejak Januari hingga Oktober 2023, dengan rincian kasus terbanyak di bulan Januari yaitu 64 kasus. Selain itu, pada bulan April 2023, terdapat dua warga yang meninggal dunia akibat DBD. Beberapa solusi yang diusulkan antara lain pengasapan (fogging) di daerah endemis untuk membasmi nyamuk dewasa, serta edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kebersihan di rumah dan lingkungan sekitar. Apakah strategi ini sudah cukup berhasil diterapkan di Banda Aceh?

 

Apa Itu Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)?

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan yang serius dan dapat membahayakan nyawa masyarakat. Penyakit ini disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, yang biasa ditemukan pada musim hujan di daerah tropis atau subtropis. Hal ini terjadi karena genangan air akibat hujan menjadi tempat yang ideal bagi perkembangbiakan nyamuk. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk melakukan upaya-upaya pencegahan yang dapat menghambat atau menghentikan perkembangbiakan nyamuk di sekitar lingkungan kita.

Gejalanya biasanya muncul 4 hingga 7 hari setelah gigitan nyamuk yang terinfeksi dan dapat bervariasi dari ringan hingga parah  meliputi demam tinggi, sakit kepala, nyeri di belakang mata, nyeri otot dan sendi, mual, muntah, ruam kulit, kelelahan, dan pendarahan ringan. DBD bisa berkembang menjadi bentuk parah Sindrom Syok Dengue (DSS) yang ditandai dengan pendarahan berat dan syok, dan dapat berujung kematian bila tidak ditangani dengan segera.

Pencegahan DBD yang efektif dan efisien adalah Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) menggunakan metode 3M Plus: Menguras, Menutup, dan Mendaur Ulang Barang Bekas. Ini melibatkan membersihkan tempat penampungan air, menutup rapatnya, dan mendaur ulang barang bekas. Metode ini juga meliputi langkah tambahan seperti menaburkan larvasida (bubuk abate), menggunakan kelambu saat tidur, memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk, menanam tanaman pengusir nyamuk, menghindari menggantung pakaian di dalam rumah, dan menggunakan krim/lotion anti-nyamuk. Masyarakat dihimbau untuk melakukan PSN di tempat tinggal masing-masing, menjaga lingkungan, dan menjaga kebersihan pribadi.

Strategi Pencegahan Penyakit DBD yang Tepat

Bila kita melakukan monitoring dan evaluasi terhadap solusi yang dilakukan untuk mencegah penyakit DBD, maka kita dapat menyimpulkan bahwa solusi ini kurang efektif dan tidak efisien. Tindakan yang selama ini dilakukan hanya untuk solusi sementara yaitu membunuh nyamuk dewasa dengan cara pengasapan (fogging), sedangkan sumber masalahnya belum tersentuh. Larva dan jentik nyamuk muda masih banyak berkembang biak. Kurangnya dukungan dan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat terhadap pencegahan penyakit ini juga masih nampak, dimana pemerintah melakukan kebijakannya sendiri tanpa berkompromi dengan masyarakat, dan masyarakat juga masih banyak yang acuh dan tidak peduli dengan “maut” yang bisa mengancam jiwanya bila penyakit tersebut dideritanya. Jadi, apa solusi yang tepat untuk mencegah dan menurunkan kasus penyakit DBD ini ?

WHO telah menetapkan sebuah strategi promosi kesehatan, yang terdiri dari tiga, yaitu advokasi, dukungan sosial, dan pemberdayaan masyarakat. Advokasi dalam strategi promosi kesehatan (promkes) merujuk pada upaya sistematis dan terencana untuk mempengaruhi kebijakan, praktik, dan opini publik guna menciptakan perubahan yang mendukung kesehatan masyarakat. Advokasi dalam promosi kesehatan untuk pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) melibatkan berbagai kebijakan dan strategi. Salah satunya adalah pengelolaan lingkungan yang mencakup pengaturan pengelolaan sampah dan pengurangan genangan air di lingkungan perumahan dan tempat umum. Program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) juga diperlukan dengan melibatkan masyarakat dalam mengidentifikasi dan menghilangkan tempat perkembangbiakan nyamuk. Fogging atau pengasapan berkala di daerah dengan tingkat kejadian DBD tinggi juga penting dilaksanakan, sementara edukasi masyarakat tentang pencegahan DBD menjadi fokus utama.

Advokasi kebijakan pendidikan termasuk memasukkan materi tentang DBD dalam kurikulum sekolah dan mendorong program Sekolah Sehat yang menekankan pada kebersihan lingkungan. Partisipasi aktif komunitas melalui kerja bakti, gotong royong, dan kampanye kebersihan menjadi kunci dalam pencegahan DBD, bersama dengan pembentukan kelompok kerja di tingkat RT/RW.

Kebijakan pelaporan dan pemantauan kasus DBD seperti Surveillance Epidemiologi diperlukan untuk mengetahui tren penyakit dan merespons secara tepat waktu. Pengalokasian anggaran yang memadai untuk program pencegahan DBD, serta kolaborasi antar sektor, baik pemerintah, swasta, maupun organisasi masyarakat, menjadi kunci keberhasilan. Kolaborasi ini mencakup dukungan dari sektor swasta melalui program Corporate Social Responsibility (CSR).

Penelitian dan pengembangan juga penting untuk inovasi baru dalam pencegahan dan penanganan DBD. Dengan implementasi semua kebijakan ini, diharapkan upaya pencegahan DBD dapat lebih efektif dan terintegrasi, serta dapat menekan angka kasus DBD di masyarakat.

Kemudian dukungan sosial dalam pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) melibatkan partisipasi aktif masyarakat, kolaborasi antar sektor, dukungan institusi pendidikan, pengorganisasian komunitas, dan keterlibatan swasta. Partisipasi komunitas meliputi kerja bakti membersihkan lingkungan dan mengikuti program edukasi. Kerja sama antara sektor memungkinkan penyebaran informasi luas dan alokasi sumber daya yang efisien. Sekolah berperan penting dalam menyebarkan pengetahuan tentang DBD. Pembentukan kelompok kerja di tingkat RT/RW memungkinkan pemantauan dan tindakan pencegahan. Swasta dapat memberikan dukungan finansial dan sumber daya lainnya melalui program CSR. Dengan dukungan sosial yang solid, strategi pencegahan DBD dapat menjadi lebih efektif dan berkelanjutan.

Terakhir pemberdayaan masyarakat merupakan kunci dalam pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD). Masyarakat diberdayakan melalui edukasi, pelatihan, dan partisipasi aktif dalam program pemberantasan sarang nyamuk. Contoh : program Jumantik yaitu singkatan dari Juru Pemantau Jentik adalah petugas khusus yang berasal dari lingkungan sekitar yang secara sukarela mau bertanggung jawab untuk malakukan pemantauan jentik nyamuk DBD Aedes aegypti di wilayahnya serta melakukan pelaporan ke kelurahan secara rutin dan berkesinambungan. Masyarakat juga dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait pencegahan DBD dan diorganisir dalam kelompok kerja di tingkat RT/RW. Penggunaan teknologi juga diterapkan untuk meningkatkan partisipasi dan efektivitas masyarakat dalam pencegahan. Melalui berbagai inisiatif ini, masyarakat menjadi agen perubahan yang aktif dalam upaya pencegahan penyakit DBD. Dengan pemberdayaan yang efektif, strategi pencegahan dapat menjadi lebih berkelanjutan dan berhasil dalam mengendalikan penyebaran DBD.

Kolaborasi antara advokasi, dukungan sosial, dan pemberdayaan masyarakat adalah point penting dalam pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD). Mereka memastikan implementasi kebijakan yang mendukung, memobilisasi partisipasi masyarakat, dan memberdayakan individu sebagai agen perubahan. Kolaborasi ini menciptakan program pencegahan yang terintegrasi, meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang DBD, serta memobilisasi sumber daya dan partisipasi dalam kegiatan pencegahan. Dengan kolaborasi yang kokoh, program pencegahan DBD dapat berhasil mengurangi kasus DBD di masyarakat secara efektif dan berkelanjutan. (*)

Artikel ini telah dibaca 25 kali

badge-check

Penulis

Comments are closed.

Baca Lainnya

Menanti Kedatangan Simbol Kebudayaan RI; Fadli Zon, di ISBI Aceh

8 January 2025 - 07:55 WIB

Refleksi 20 Tahun Pasca Tsunami: Menata Kembali Seni dan Budaya yang Hilang

5 January 2025 - 06:26 WIB

Revisi Konsep Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

27 December 2024 - 14:57 WIB

Menata ISBI Aceh 2025 Menuju Institusi Pendidikan Seni Berstandar Internasional

27 December 2024 - 06:30 WIB

Mewujudkan Kedaulatan Pangan  Berkelanjutan  

23 December 2024 - 12:44 WIB

Mengapa Harus TARSA?

18 November 2024 - 06:08 WIB

Trending di OPINI