Oleh : Aqlima Yanti (Mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat tahun 2023 USK) dan Dr. Irwan Saputra, S.Kep., MKM (Dosen Magister Kesehatan Masyarakat USK)
HARI Tanpa Tembakau Sedunia diperingati di seluruh dunia setiap tahun pada tanggal 31 Mei. Gerakan ini menyerukan para perokok agar “berpuasa” tidak merokok selama 24 jam serentak di seluruh dunia. Ini momentum yang sangat tepat bagi pecandu rokok untuk berhenti merokok, walaupun “sesaat”.
Rokok merupakan momok yang mengerikan bagi masa depan generasi kita. Dimana, sudah menjadi hal yang biasa bila kita melihat anak-anak muda bahkan masih di bawah umur sudah candu dengan rokok. Mengapa hal ini bisa terjadi? Dimana peran orangtuanya? Kita mengamati bahwa anak-anak muda ini sedari kecil sudah diperkenalkan dengan rokok oleh orangtua meraka sendiri atau saudara mereka yang lebih tua. Peran pemerintah disini juga sangat penting, bukan saja orangtua dan lingkungan, tanpa kebijakan dari pemerintah, maka rokok tidak akan bisa musnah dari negeri kita tercinta ini. Maka diperlukan adanya sebuah Peraturan Daerah atau Qanun (di Aceh) yang menangani tentang aturan merokok tersebut.
Aceh, provinsi yang terletak di ujung barat Indonesia, memiliki kekayaan budaya dan tradisi yang sangat kaya. Namun, di balik keindahan alam dan warisan budaya yang luar biasa, Aceh juga menghadapi tantangan serius terkait dengan konsumsi rokok di kalangan penduduknya. Konsumsi rokok di Aceh memiliki dampak yang signifikan, baik dari segi kesehatan maupun sosial.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi merokok penduduk usia ≥15 tahun di Provinsi Aceh adalah 27,8%. Angka ini sedikit di bawah rata-rata nasional yang mencapai 28,8%. Jika dijabarkan berdasarkan jenis kelamin, prevalensi merokok laki-laki di Aceh mencapai 51,1%, sedangkan perempuan hanya 4,5%. Prevalensi merokok tertinggi di Aceh terdapat pada kelompok usia 30-34 tahun, yaitu sebesar 35,1%.Tingginya angka perokok di antara penduduk Aceh telah menyebabkan peningkatan kasus penyakit terkait rokok, seperti penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan kanker paru-paru. Selain itu, konsumsi rokok juga berdampak pada ekonomi keluarga, karena sebagian besar pendapatan dapat habis untuk memenuhi kebutuhan rokok. Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh pada 2021 menunjukkan, kontribusi rokok terhadap garis kemiskinan sebanyak 12,29 persen atau kedua terbesar setelah kebutuhan beras. Artinya, alokasi belanja rokok yang dikeluarkan masyarakat Aceh nyaris setara dengan belanja beras. Pemerintah dan berbagai organisasi non-pemerintah telah aktif dalam upaya untuk mengurangi prevalensi merokok di Aceh. Program-program pencegahan dan pengentasan merokok telah diluncurkan, termasuk kampanye penyuluhan tentang bahaya merokok, pembentukan komunitas anti-rokok, dan regulasi ketat terkait iklan dan promosi produk tembakau.
Tahukah anda bahwa Aceh sudah mempunyai sebuah Qanun tentang aturan merokok? Saya yakin, pasti banyak yang belum mengetahuinya. Provinsi Aceh sudah mengeluarkan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang ditetapkan di Banda Aceh tanggal 30 Desember 2020, dan sudah mulai berlaku tanggal 1 Februari 2021. KTR yang dimaksud meliputi fasilitas pelayanan kesehatan, institusi pendidikan formal dan informal, arena kegiatan anak-anak, tempat ibadah, angkutan umum, arena olahraga, tempat kerja, tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan (tempat wisata, pelabuhan, stasiun, terminal, dan lain sebagainya). Kalau kita baca secara seksama, Qanun tersebut sudah sangat lengkap dan bagus, namun mengapa tidak dapat menekan angka merokok di Aceh?
Ternyata dalam pelaksanaannya, implementasi Qanun KTR tersebut mengalami beberapa kendala di antaranya: kurangnya sosialisasi tentang Qanun KTR baik melalui media cetak maupun elektronik, sehingga menyebabkan kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang bahaya merokok dan pentingnya KTR, adanya budaya merokok yang sudah mengakar di sebagian masyarakat Aceh, dan resistensi dari kelompok perokok aktif terhadap pembatasan merokok di tempat umum. Ketersediaan sarana pendukung juga menjadi kendala, seperti terbatasnya ketersediaan tempat khusus merokok (smoking area) di tempat-tempat umum, kurangnya ketersediaan tanda/rambu larangan merokok di fasilitas umum , dan minimnya anggaran yang dialokasikan untuk implementasi Qanun KTR. Permasalahan penegakan hukum dari Qanun ini juga menjadi sebuah kendala sendiri, dimana keterbatasan jumlah dan kapasitas petugas penegak hukum (Satpol PP) untuk melakukan pengawasan dan penindakan di seluruh wilayah Aceh, kurangnya koordinasi dan sinergi antara instansi terkait (Dinas Kesehatan, Satpol PP, Kepolisian) dalam penegakan Qanun KTR, dan lemahnya sanksi dan denda yang ditetapkan dalam Qanun, sehingga kurang memberikan efek jera.
Hal yang sangat penting adalah kurangnya komitmen dan dukungan dari pimpinan daerah dan instansi terkait dalam mengimplementasikan Qanun KTR, dimana masih adanya kepentingan ekonomi dari industri rokok yang dapat mempengaruhi kebijakan, dan minimnya advokasi dan sosialisasi Qanun KTR kepada pemangku kepentingan di tingkat lokal. Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, diperlukan upaya yang komprehensif, melibatkan seluruh pemangku kepentingan, dan didukung dengan alokasi anggaran yang memadai. Selain itu, penguatan kapasitas penegak hukum, peningkatan kesadaran masyarakat, dan komitmen yang kuat dari pemerintah daerah menjadi kunci keberhasilan implementasi Qanun KTR di Aceh. Salah satu yang sekarang masih bisa dan harus terus dilakukan adalah sosialisasi pelaksanaan Qanun KTR ke tempat-tempat strategis yang menjadi sasaran Qanun tersebut. Dalam perencanaan program sosialisasi tersebut, dibutuhkan sebuah manajemen promosi kesehatan sehingga program tersebut bisa berhasil dan mendapat capaian sesuai dengan yang diharapkan.
Beberapa langkah manajemen promosi kesehatan yang dapat diterapkan untuk sosialisasi penerapan Qanun Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Aceh adalah pertama Analisis Situasi yaitu melakukan pemetaan dan analisis situasi terkait isu merokok dan KTR di Aceh; mengidentifikasi target sasaran, baik individu, kelompok, maupun komunitas; dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi perilaku merokok dan penerimaan KTR di masyarakat. Kedua adalah Perencanaan Program yaitu merumuskan tujuan dan sasaran program sosialisasi Qanun KTR yang jelas dan terukur; menyusun strategi komunikasi dan edukasi yang sesuai dengan karakteristik target sasaran; mengembangkan pesan-pesan promosi kesehatan yang menarik, informatif, dan persuasif; dan mengalokasikan sumber daya yang diperlukan, termasuk anggaran, tenaga, dan sarana.
Selanjutnya adalah Implementasi Program yaitu melakukan sosialisasi dan edukasi melalui berbagai saluran komunikasi, seperti media massa, media sosial, dan komunikasi interpersonal; jangan lupa melibatkan tokoh masyarakat, pemuka agama, dan influencer lokal sebagai agen perubahan; mengintegrasikan sosialisasi Qanun KTR dalam kegiatan-kegiatan kesehatan masyarakat yang sudah ada; dan menyediakan sarana pendukung, seperti rambu-rambu larangan merokok dan tempat khusus merokok. Langkah selanjutnya adalah Monitoring dan Evaluasi yaitu memantau secara berkala tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat terkait Qanun KTR; mengevaluasi efektivitas strategi dan metode komunikasi yang digunakan; mengidentifikasi kendala dan tantangan dalam implementasi program, serta melakukan perbaikan yang diperlukan; serta melaporkan hasil monitoring dan evaluasi kepada pemangku kepentingan terkait.
Langkah terakhir dan tidak kalah pentingnya adalah Advokasi dan Pengembangan Kemitraan yaitu melakukan advokasi kepada pemerintah daerah, legislatif, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mendapatkan dukungan dan komitmen; membangun kemitraan dengan organisasi masyarakat, swasta, dan media untuk memperkuat upaya sosialisasi Qanun KTR; serta mengembangkan sistem insentif dan penghargaan bagi individu, kelompok, atau institusi yang berperan aktif dalam implementasi Qanun KTR. Dengan menerapkan manajemen promosi kesehatan yang komprehensif, diharapkan dapat meningkatkan pemahaman, kesadaran, dan partisipasi masyarakat Aceh dalam mendukung penerapan Qanun Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di wilayahnya.
Ingatlah, tembakau “membunuh” lebih banyak orang daripada kecanduan lainnya dan inilah saatnya kita mendidik orang tua dan muda untuk menjauh dari tembakau. Mengatakan ‘tidak’ pada tembakau berarti mengatakan ‘ya’ pada kehidupan. Mari kita selamatkan nyawa di sekitar kita dengan menyadarkan mereka akan bahaya tembakau bagi kita semua. (*)