Oleh : Ichsan MSn (Ketua Jurusan Seni Rupa dan Desain ISBI Aceh)
JANTHO – Aceh, sebuah wilayah dengan kekayaan budaya dan sejarah yang mendalam, dikenal dengan berbagai bentuk ekspresi seni yang tak terhitung jumlahnya, salah satunya adalah seni rupa. Beragam lukisan, ukiran, dan seni kriya menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya masyarakat Aceh.
Namun, ada satu bentuk seni tradisional yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh, yaitu hadih maja. Hadih Maja merupakan salah satu warisan sastra Aceh yang menyimpan banyak nilai sejarah dan budaya. Dalam pandangan banyak orang, hadih maja lebih dikenal sebagai kalimat sastra yang mengandung petuah, sindiran, nasihat, atau bahkan hiburan.
Namun, bagaimana jika kita mencoba untuk menggali lebih dalam dan melihat apakah seni rupa juga memiliki tempat dalam tradisi hadih maja?
Penting untuk memahami bahwa hadih maja adalah bentuk sastra yang terdiri dari syair atau pantun yang biasanya disampaikan secara lisan dalam berbagai acara. Dikenal dengan sifatnya yang kental dengan kebijaksanaan, hadih maja menyampaikan pesan-pesan yang dalam mengenai nilai-nilai kehidupan. Kata-kata yang terangkai dalam hadih maja seringkali memiliki makna ganda, memberikan kesan mendalam, dan terkadang disertai dengan kritik sosial.
Di dalam perjalanan sejarahnya, hadih maja telah menjadi bagian integral dari komunikasi dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Namun, ada pertanyaan yang menarik untuk ditelusuri lebih lanjut: adakah relasi antara hadih maja dan seni rupa? Apakah seni rupa memiliki ruang dalam ranah hadih maja?
Pada kenyataannya, seni rupa dalam bentuk ekspresi visual memerlukan ruang untuk berkembang. Dalam konteks ke-Acehan, seni rupa tidak hanya tercermin dalam lukisan atau ukiran, tetapi juga dalam berbagai bentuk seni lain, seperti arsitektur dan tekstil. Keberadaan seni rupa dalam hadih maja bisa kita temui melalui berbagai deskripsi atau ungkapan yang menggambarkan bentuk-bentuk visual tertentu.
Sebagai contoh, ” _lagak_ _tanoeh_ _nibak_ _seunibue_ , _lagak__ _ureueng_ _nibak_ _taqwa_ ” Artinya (baik tanah pada suburnya, baik sesorang pada taqwanya). Hadih maja yang populer ini sering disiarkan saat perkuliahan oleh para dosen. Hadih ini memvisualisasikan kehidupan yang menyentuh aspek visual hidup dan peran yang menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat Aceh.
Dalam beberapa hadih maja lainnya, dapat ditemukan deskripsi mengenai keindahan alam yang tidak hanya menggugah imajinasi, tetapi juga menghubungkan kita pada estetika seni rupa. Misalnya, dalam penggambaran pemandangan alam, tanaman, atau hewan, hadih maja dapat menciptakan gambaran yang seolah-olah terlihat oleh mata, seperti halnya sebuah lukisan. Beberapa kalimat dalam hadih maja lainnya menggambarkan gambaran visual yang seolah-olah mengajak kita untuk melihat keindahan alam, yang sejalan dengan filosofi seni rupa Aceh yang seringkali mencerminkan hubungan harmonis antara manusia dengan alam sekitarnya.
Salah satu contoh yang memvisualisasikan bunga dalam bentuk konotasi adalah, ” _meuhambo_ , _duroh_ _laye_ _dum_ _bungong_ _nangroe_ _e_ _adoe_ , _sampe_ _hate_ _bangsa_ _tahina_ … Artinya wahai adikku, kini telah bertebaran para bunga (wanita) yang merusak negeri dengan menjadi WTS”. Hadih maja ini menggambarkan keindahan bunga dalam konotasi wanita ini populer dalam lirik lagu Imum Jhon. Tidak jarang, dalam hadih maja lainnya disebutkan bagaimana bunga atau pohon menjadi simbol kehidupan atau kekuatan alam yang menyentuh kehidupan manusia. Keindahan alam yang digambarkan dalam bentuk kata-kata ini, bisa dianggap sebagai bentuk seni visual dalam ranah sastra yang memberikan gambaran jelas tentang keindahan visual kepada pendengarnya.
Hadih-hadih maja sering digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan sosial atau memberikan kritik terhadap kondisi masyarakat. Dalam hal ini, seni rupa memiliki keterkaitan yang erat dengan hadih maja, karena keduanya sama-sama memiliki kemampuan untuk menyampaikan pesan sosial melalui visualitas dan simbolisme. Sebagai contoh, ” _cicem_ _keudidi_ _bantu_ _ceumeucah_ , _bak_ _ateung_ _patah_ _sabe_ _di_ _nari_ , _di_ _grop_ _grop_ _droe_ __tanoh__ _han_ _bicah_ , _sang_ _jih_ _lam_ _susah_ _han_ _harap_ _keu_ _bumi_ ” Artinya burung keudidi membantu mengarit, dipematang sawah ia menari, meloncat loncat diatas tanah tak gembur, seolah dalam kesusahan tak berharap pada orang lain”. Hadih maja ini memberi gambaran kehidupan seseorang dalam strata sosial yang tamak. Hadih maja ini dulu populer dalam buku bahasa Aceh yang diberikan sekolah sekolah pada awal tahun 2000 an.
Berdasarkan beberapa hadih yang telah di urai, tampak bahwa seni rupa di Aceh tidak hanya berfungsi sebagai sarana estetika, tetapi juga menjadi alat untuk menyampaikan pesan-pesan sosial yang relevan dengan kehidupan masyarakat. Lewat hadih maja, seni rupa dapat hadir sebagai cerminan atau bahkan kritik terhadap keadaan sosial pada masa itu. Ini menunjukkan bagaimana hadih maja dapat menjadi jembatan yang menghubungkan sastra dengan seni rupa, mengingat keduanya memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan identitas budaya suatu masyarakat.
Sebuah kenyataan pada akhirnya, bahwa perkembangan seni rupa di Aceh tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sastra dan budaya secara umum. Seni rupa dan sastra telah saling melengkapi dan saling berkolaborasi dalam menciptakan sebuah pengalaman budaya yang holistik. Seiring dengan perkembangan waktu, seni rupa dan sastra Aceh telah berkembang bersama, meskipun keduanya memiliki jalur masing-masing. Di sisi lain, hadih maja sebagai bagian dari sastra Aceh juga telah memberikan ruang bagi seni rupa untuk berkembang melalui kata-kata, cerita, dan penggambaran visual.
Salah satu contoh tambahan lainnya dapat dilihat dalam hubungan antara seni rupa dan hadih maja adalah dalam tradisi penggambaran cerita rakyat atau legenda Aceh. Banyak cerita yang diceritakan dalam bentuk hadih maja, yang mengandung unsur-unsur visual dan simbolis yang terkait dengan seni rupa. Misalnya, cerita-cerita tentang pahlawan, raja-raja, atau peristiwa sejarah lainnya sering kali dibalut dalam bentuk kata-kata yang tidak hanya menyampaikan pesan moral, tetapi juga menggambarkan pakaian, atribut, dan lingkungan sekitar yang menjadi bagian dari seni rupa.
Melalui hadih maja, kita dapat melihat hubungan yang sangat erat antara seni rupa dan sastra dalam konteks budaya Aceh. Hal ini menggambarkan bahwa seni rupa dan sastra bukanlah dua entitas yang terpisah, melainkan dua hal yang saling melengkapi dalam membentuk jati diri budaya Aceh.
Seiring dengan perkembangan zaman, diharapkan seni rupa di Aceh dapat terus berkembang dan selaras dengan perkembangan seni lainnya, termasuk sastra dan budaya. Salah satu cara untuk mewujudkan hal ini adalah dengan melibatkan hadih maja sebagai sarana untuk mengenalkan nilai-nilai seni rupa kepada generasi muda. Pendidikan mengenai seni rupa Aceh, yang tidak hanya mengajarkan tentang teknik dan bentuk seni, tetapi juga menghubungkannya dengan nilai-nilai sastra dan budaya lokal, akan menciptakan pemahaman yang lebih mendalam tentang pentingnya seni dalam kehidupan masyarakat.
Penggabungan antara hadih maja dan seni rupa juga bisa menjadi jalan untuk melestarikan dan mempromosikan budaya Aceh di mata dunia. Dengan memperkenalkan hadih maja yang berisi nilai-nilai visual dalam konteks seni rupa, kita dapat membawa seni Aceh ke ranah yang lebih luas, memperkenalkan kekayaan budaya Aceh, dan menginspirasi seniman muda untuk terus berkarya dengan memanfaatkan kekayaan tradisi yang ada.
Sebagai penutup, kita dapat memahami bahwa seni rupa Aceh dalam hadih maja bukanlah hal yang terpisah, tetapi saling berhubungan dalam membentuk identitas budaya yang kaya dan mendalam. Melalui penggabungan keduanya, kita bisa lebih memahami bagaimana seni rupa dan sastra bekerja bersama untuk menciptakan sebuah narasi budaya yang utuh. Sebagai bagian dari warisan budaya, hadih maja tidak hanya menjadi sarana komunikasi verbal, tetapi juga menjadi jendela untuk melihat keindahan dan makna yang lebih dalam dari seni rupa di Aceh. Dengan menjaga dan mengembangkan keduanya, kita dapat memastikan bahwa warisan budaya Aceh tetap hidup dan relevan di masa depan.(*)