Oleh : DR. Ardi Adji (Pakar Ekonomi Regional Universitas Indonesia)
RAKYAT ACEH |BANDA ACEH – 15 Oktober 2014 menjadi hari bersejarah bagi Aceh. Di hari itu, prosesi tepung tawar (peusijuek) mengiringi pengapalan gas alam cair (LNG) terakhir dari PT Arun ke Korea Selatan. Hari itu, sekaligus menandai berakhirnya era kejayaan Arun sebagai penyumbang devisa sejak 14 Oktober 1978, ketika dilakukan pengapalan LNG perdana yang membuat Arun menyandang predikat Petro Dolar.
Arun adalah jejak penting yang mewarnai perjalanan sejarah Aceh dan Indonesia. Berbekal cadangan gas yang diestimasi sebagai salah satu yang terbesar di dunia, Arun berkembang menjadi penopang ekonomi Aceh dan menyumbang pundi-pundi devisa.
Tak hanya devisa hasil ekspor, Arun juga menjadi motor yang menggerakkan roda industri lain, diantaranya PT Pupuk Iskandar Muda, PT Asean Aceh Fertilizer, dan PT Kertas Kraft Aceh. Multiplier effect industri ini berhasil membuka puluhan ribu lapangan kerja sekaligus menggerakkan ekonomi wilayah. Sayangnya, kini kejayaan Arun dan industri lainnya telah meredup.
Ada alasan mengapa bahan bakar yang berasal dari fosil (fossil fuel) seperti minyak dan gas disebut sebagai sumber energi tak terbarukan (non-renewable energy). Apa alasannya? Karena pada periode waktu tertentu, cadangannya akan habis.
Sayangnya, Aceh terlambat menjalankan transformasi ekonomi. Tentu ini bukan salah Aceh semata. Di era kejayaan industri migas tahun 1990-an, sistem ekonomi masih tersentralisasi, sehingga Aceh tidak bisa mengoptimalkan daya ungkit sektor migas bagi ekonomi regional.
Ketika kemudian berlaku otonomi daerah dan Aceh mendapat bagian Dana Otonomi Khusus (Otsus) sejak tahun 2006, kejayaan migas di Aceh sudah dalam fase menurun. Ditambah
dengan kurang tajamnya strategi transformasi ekonomi, hasilnya pun kurang optimal. Imbasnya dirasakan Aceh hingga saat ini. Dengan angka kemiskinan 12,64 persen (September 2024), Aceh menjadi provinsi termiskin di Sumatera.
Di titik ini, kita tak perlu lagi terjebak pada masa lalu. Kini, kita perlu menatap ke depan. Jangan lupa, Dana Otsus Aceh akan berakhir di tahun 2027. Artinya, Aceh harus memiliki strategi jitu melalui transformasi ekonomi untuk menggali sumber-sumber pendapatan lain, agar roda pembangunan terus berjalan dan program pengentasan kemiskinan lebih optimal.
Postur Ekonomi & Kemiskinan
Pasca tsunami 26 Desember 2004, ekonomi Aceh terpuruk sampai 10 persen di tahun 2005. Tren penurunan ini terus berlanjut sampai tahun 2009. Sehingga, secara kumulatif ekonomi Aceh terkontraksi hingga 25,9 persen pada periode tahun 2005 sampai 2009.
Kondisi perekonomian Aceh baru kembali seperti kondisi tahun 2003 (pra tsunami) pada tahun 2022. Artinya, recovery ekonomi ini butuh waktu yang sangat panjang, sampai 13 tahun sejak mulainya recovery tahun 2010. Dalam satu dekade terakhir, rata-rata petumbuhan ekonomi Aceh hanya sekitar 3-4 persen (di bawah rata-rata nasional 5 persen).
Lambannya recovery ekonomi ini berdampak pada efektivitas pengentasan kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kemiskinan di Aceh turun dari 14,23 persen pada Maret 2024 menjadi 12,64 persen pada September 2024.
Di daerah perdesaan, persentase penduduk miskin turun dari 16,75 persen menjadi 14,99 persen. Sedangkan di perkotaan, persentase penduduk miskin turun dari 9,60 persen menjadi 8,37 persen. Pada Bulan September 2024, jumlah penduduk miskin di Aceh sebanyak 718,96 ribu orang, berkurang 85,6 ribu orang dibandingkan Maret 2024 yang jumlahnya 804,53 ribu orang.
Satu hal yang patut diapresiasi adalah, penurunan angka kemiskinan Aceh sebesar 1,59 persen (dari Maret 2024 hingga September 2024), merupakan penurunan kemiskinan tertinggi dalam 15 tahun terakhir.
Ini mencerminkan naiknya efektivitas upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Meskipun, dengan catatan bahwa ketimpangan masih ada. Karena itu, tantangan ke depan adalah bagaimana mempercepat pengentasan kemiskinan dan menurunkan ketimpangan untuk memastikan pembangunan yang lebih adil dan merata. Di sinilah transformasi ekonomi dan peran institusi inklusif dibutuhkan.
Strategi Transformasi Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan
Transformasi ekonomi menjadi salah satu alternatif kunci untuk menyesuaikan dengan perkembangan perekonomian. Ini ditandai dengan proses perubahan struktur perekonomian, yang antara lain ditunjukkan dengan:
- Menurunnya pangsa sektor primer (pertanian & pertambangan);
- Meningkatnya pangsa sektor sekunder (industri & konstruksi); dan
- Pangsa sektor tersier (jasa) memperlihatkan kontribusi yang meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi (Todaro, 2006)
Bagaimana dengan Aceh? Dalam 15 tahun terakhir, kontribusi sektor pertanian yang pada tahun 2008 sebesar 20 persen, terus meningkat menjadi 30 persen pada tahun 2023. Sehingga sektor ini masih menjadi tulang punggung perekonomian Aceh. Ini berbanding terbalik dengan sektor sekunder (Industri) yang kontribusinya terus turun dari 20 persen pada 2003 menjadi 4,8 persen di tahun 2023.
Dominasi kontribusi sektor pertanian dan perdagangan serta turunnya peran sektor industri pengolahan dalam postur perekonomian Aceh, ibarat keluar dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya. Di masa jayanya, industri migas menjadi motor yang menggerakkan roda perekonomian Aceh, namun saat industri migas mulai hilang dari perekonomian Aceh, komoditas ini menjadi rem yang menghambat laju pertumbuhan ekonomi.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Harus diakui, Aceh terlambat bersiap diri, dan belum terlihat transformasi ekonomi yang nyata ke arah industri pengolahan lainnya, seperti agro industri. Sehingga, peran sektor perdagangan menjadi dominan, dimana produksi pertanian sebagian besar masih berwujud bahan mentah yang diperdagangkan ke luar Aceh.
Hingga saat ini, pangsa pasar sektor primer belum mengarah ke peningkatan sektor industri, akan tetapi terdistribusi ke sektor primer, yakni sektor pertanian dan sektor industrinya belum bergerak naik.
Karena itu, dalam jangka menengah dan panjang, sektor tanaman perkebunan harus ditingkatkan kontribusinya, kemudian dilanjutkan dengan pengembangan agro industri hasil sektor perkebunan. Selain itu, tentu saja dengan anugerah alam dan budaya yang begitu indah, sektor pariwisata bisa menjadi andalan penggerak ekonomi Aceh. Syaratnya, infrastruktur akomodasi dan transportasi harus terus diperbaiki.
Fakta menunjukkan, dalam jangka panjang, faktor-faktor penentu pertumbuhan ekonomi adalah kualitas sumber daya manusia (SDM), kualitas infrastruktur, dan kualitas institusi. Ketiga hal ini merupakan faktor utama penentu efisiensi biaya-biaya investasi dan menjamin kepastian usaha. Sehingga, pertumbuhan ekonomi, pembukaan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat bisa dicapai.
Bagaimana dengan kemiskinan? Insiden Kemiskinan di Provinsi Aceh terbesar ada pada penduduk yang bekerja di sektor Pertanian (15,16 persen) dan sektor Bangunan (13,31 persen). Dari total penduduk miskin yang bekerja di Aceh, 56,56 persen diantaranya berada di sektor Pertanian, kemudian di sektor Perdagangan 11,58 persen.
Karena itu, pemerintah daerah perlu memahami fokus dalam melakukan pembangunan yang berpihak pada sektor ekonomi yang besar kontribusinya terhadap kemiskinan. Pekerja sektor perkebunan hampir 16,4 persen dari total pekerja yang ada di Aceh, dimana 13,47 persen pekerja merupakan pekerja miskin, yang berkontribusi sebesar 19,16 persen dari total pekerja miskin.
Harus disadari, kemiskinan di Aceh merupakan kemiskinan struktural yang memerlukan dukungan institusi pemerintah, jangan sampai terjadi pembiaran dan tidak ada keberpihakan dari para pengambil kebijakan. Keberpihakan program pembangunan pemerintah pada sektor yang merupakan mata pencaharian rumah tangga miskin (sektor pertanian tanaman padi dan palawija serta sektor perkebunan), harus menjadi prioritas.
Inilah kesempatan Gubernur terpilih mengambil peran sebagai orkestrator Kabupten/Kota se-Aceh, agar melakukan percepatan pengentasan kemiskinan dengan sinkronisasi kebijakan FOKUS pada rumah tangga miskin sektor pertanian tanaman padi dan palawija, serta sektor perkebunan. Adapun LOKUS-nya harus menyasar region yang besar jumlah penduduk miskinnya dan tinggi tingkat kemiskinannya (Aceh Utara, Pidie, Aceh Singkil, dan Gayo Lues).
Tentu, energi dan jangkauan pemerintah daerah memiliki keterbatasan. Karena itu, perlu upaya serius untuk membuka pintu kolaborasi dengan berbagai pihak, mulai dari korporasi, akademisi, hingga berbagai unsur masyarakat untuk sama-sama bergerak, bahu membahu memajukan Aceh.
Di era kepemimpinan baru Aceh yang akan dimulai pada Februari 2025 ini, Gubernur Muzakir Manaf dan Wakil Gubernur Fadhlullah, serta para Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota terpilih, mengemban amanat untuk menjalankan transformasi ekonomi dan pengentasan kemiskinan yang efektif, demi menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh. (*)