RAKYATACEH | BIREUEN– Pagi itu, langit di Desa Hagu masih menyimpan sisa embun. Angin berbisik pelan di antara dedaunan, seakan membawa cerita dari masa lalu yang kelam. Namun, di tengah keheningan, sebuah langkah kecil penuh makna bergema, sebuah keputusan besar yang akan mengukir babak baru dalam perjalanan damai di Aceh, Rabu (19/3).
Seorang pria, wajahnya tertunduk, matanya menyiratkan beban yang telah lama ia pikul. Di hadapan Posko Satgas TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) ke-123, ia melangkah dengan hati berdebar. Dalam genggamannya, bukan sekadar besi tua, tetapi sejarah, luka, dan pengorbanan.
Lalu, dalam satu gerakan yang penuh makna, ia menyerahkan senjata yang selama ini ia simpan. Satu pucuk SS1 V1, tiga buah magazen SS1, tiga puluh butir munisi kaliber 5,56 mm, satu pistol rakitan, satu magazen pistol dengan satu butir munisi kaliber 9 mm, serta dua granat tangan jenis nanas. Senjata-senjata yang dahulu menjadi simbol perlawanan, kini berpindah tangan dalam keheningan.
Dari Perlawanan ke Perdamaian
Langkah ini bukan terjadi dalam semalam. Sejak TMMD ke-123 digelar, komunikasi dibangun, kepercayaan dipupuk. Dandim 0111/Bireuen, Letkol Inf Ade Munandar, bersama timnya, tak hanya membangun jalan dan rumah, tetapi juga merajut kembali hubungan dengan masyarakat. Mereka mendekati dengan hati, bukan dengan paksaan.
Melalui pendekatan persuasif yang dilakukan personel Satgas TMMD Kodim 0111/Bireuen, seorang eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) akhirnya luluh. Selama bertahun-tahun, ia menyimpan senjata itu dengan rasa waspada, ketakutan, dan keraguan.
Namun, di balik semua itu, ia juga menyimpan harapan. Harapan untuk hidup dalam damai, untuk tidak lagi dihantui oleh bayang-bayang masa lalu.
Saat senjata itu diserahkan, suasana begitu hening. Semua yang hadir menyadari, ini bukan sekadar serah terima barang. Ini adalah pernyataan. Pernyataan bahwa konflik tak lagi menjadi jawaban. Pernyataan bahwa Aceh yang baru harus dibangun dengan kerja sama, bukan dengan senjata.
Dandim 0111/Bireuen menerima senjata itu dengan penuh penghormatan. Ia memahami bahwa di balik keputusan ini, ada keberanian besar. Ia memastikan, identitas sang mantan kombatan akan dirahasiakan, keamanannya dijamin. Karena keputusan seperti ini bukan sekadar menyerahkan senjata, melainkan menyerahkan kepercayaan.
Senjata yang dulu menggelegar di tengah hutan kini diam dalam genggaman prajurit. Tak ada lagi suara letusan, tak ada lagi desingan peluru yang mengoyak malam. Yang ada hanya harapan baru, harapan untuk kehidupan yang lebih baik.
“Penyerahan ini bukan akhir dari cerita, melainkan awal dari perjalanan baru. TMMD ke-123 bukan sekadar tentang pembangunan fisik, tapi juga membangun kembali rasa percaya, persaudaraan, dan masa depan yang lebih cerah untuk Aceh,” ujar Dandim Ade Munandar.
Dan pagi itu, di bawah langit Desa Hagu yang biru, seorang pria melangkah pulang dengan hati yang lebih ringan. Bukan lagi dengan senjata di tangannya, tetapi dengan harapan yang tumbuh di dadanya. (akh)