Oleh dr. Eka Mulyana
BILA mendengar istilah blindspot mungkin hal tersebut mengingatkan anda tentang titik buta dalam berkendara. Istilah ini disebut juga dengan no zone dalam dunia otomotif yang berarti area atau zona sekitar kendaraan yang mana pada titik tersebut kita tidak akan dapat mendeteksi keberadaan objek maupun kendaraan lain.
Faktor penyebabnya ada berbagai macam, salah satunya adalah desain dan dimensi dari kendaraan itu sendiri. Selain itu, blindspot juga dapat disebabkan karena faktor- faktor eksternal atau faktor yang ada di luar kendaraan. Misalnya, saat kendaraan berada di persimpangan jalan, tikungan, area yang berbukit, area dengan bangunan yang padat, lalu lintas yang padat, lingkungan berdebu, barang muatan yang dibawa kendaraan, kondisi cuaca seperti hujan atau kabut yang dapat mengurangi visibilitas pengendara.
Keberadaan faktor-faktor ini menyebabkan pengemudi sulit memantau dan memiliki keterbatasan dalam menganalisa posisi kendaraannya karena pantulan pada kaca spion terhalangi. Dengan kondisi-kondisi tersebut, jika tidak hati-hati dengan titik buta, kemungkinan terjadinya benturan atau kecelakaan lebih tinggi, karena jarak pandang yang terbatas.
Titik buta atau blindspot yang akan dibahas dalam tulisan ini, bukanlah blindspot yang berkenaan dengan kendaraan dan pengemudi, melainkan membahas tentang titik kelemahan atau ketidakmampuan seseorang yang tidak disadari, yang mana dapat mengancam karir. Seorang penulis bernama Robert Bruce Shaw menerangkan bahwa titik buta tersebut dapat menghambat kesuksesan karir, terutama seorang pemimpin. Oleh karena titik buta tersebut sering tidak disadari, justru akan semakin membahayakan karir seseorang.
Ketika seseorang telah menjalani karirnya selama bertahun-tahun, namun ia tidak menyadari bahwa ada hal yang cukup penting untuk direnungi. Terkadang karena kita sudah merasa di titik yang aman, ternyata disitulah sebenarnya titik yang harus diwaspadai, dimana justru di titik itulah yang dapat menentukan bagaimana nasib perjalanan karir kita di kemudian hari.
Manusia pada hakikatnya termasuk ke dalam golongan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri-sendiri dan membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Titik buta ini hanya dapat dilihat oleh orang lain, sehingga kita memerlukan bantuan orang lain untuk menemukan titik buta dalam diri. Dalam hidup, kita membutuhkan umpan balik dari orang lain untuk mengingatkan, menegur atau memberitahu ketika kita melakukan kesalahan atau hampir melakukan penyimpangan, sehingga kita terhindar dari hal-hal yang buruk yang mungkin dapat terjadi.
Bila kita memperhatikan kembali dari uraian istilah blindspot dalam dunia otomotif dapat dianalogikan dengan istilah blindspot dalam karir, yang berarti sama-sama merupakan “hal yang tidak terlihat”. Kembali kepada terkait dengan karir, blindspot, dapat diartikan sebagai kelemahan kita dalam karakter, knowledge, kompetensi atau bahkan secara manajemen yang terkadang kita terlupakan untuk melihat sedemikian rupa, sehingga menjadi sebuah jebakan untuk diri sendiri.
Sebagai contoh, bila kita memiliki atasan atau rekan kerja yang kritis dan banyak tuntutan, jangan menganggap bahwa hal tersebut dapat menurunkan motivasi kita dalam bekerja. Walaupun memang, saat kita menerima teguran atau kritikan dari orang sekeliling kita, biasanya muncul perasaan ingin membela diri dan cenderung bersikap reaktif, namun sebaiknya kita mencoba melihat sisi positifnya, menilai secara objektif, bersyukur bahwa masih ada yang peduli terhadap kita, mengucapkan terima kasih dan melakukan refleksi diri. Pada akhirnya, refleksi diri dan mengingat bahwa kritikan adalah sarana belajar untuk memperbaiki diri sehingga akan melahirkan pribadi yang lebih baik dan lebih sadar akan kemampuan dan ketidakmampuan dirinya sendiri.
Selain itu, kita juga dapat melihat contoh di dunia olahraga, dimana para atlet pasti butuh seorang pelatih. Namun, bila pelatih mengikuti lomba atau bertanding, apakah ia dapat memenangkan pertandingan? Belum tentu. Jika demikian, maka akan timbul pertanyaan dalam diri kita, mengapa seorang atlet profesional sekalipun membutuhkan seorang pelatih? Penting untuk diketahui bahwa atlet butuh pelatih untuk melihat bakat-bakat yang ada dalam dirinya.
Disinilah peran pelatih akan terlihat, dimana perannya meliputi mengidentifikasi dan menganalisis kemampuan, talenta, prospektif, serta kekuatan dan kelemahan yang dimiliki seorang atlet. Dengan kata lain, atlet membutuhkan seseorang yang dapat melihat sesuatu yang ia sendiri tidak dapat melihatnya. Hal inilah yang disebut dengan blindspot. Sehebat apapun, seorang atlet pasti ada pelatih yang selalu mendampinginya.
Begitu juga dalam dunia kerja atau organisasi, didalamnya terdapat ketua atau pimpinan, wakil, dan bawahan. Merekalah yang membantu kita untuk menilai blindspot dalam diri. Hal ini sangat penting karena dapat menentukan perjalanan karir.
Jadi, jangan pernah merasa bahwa hidup anda sudah berada di titik teraman bila ada memiliki jabatan yang tinggi, kolega seprofesi yang tidak pernah mengkritik, merasa diri serba bisa, merasa paling hebat, merasa paling berjasa dalam keberhasilan dan kemajuan organisasi/perusahaan, tidak mau belajar atau meng-upgrade ilmu, merasa dibutuhkan orang banyak, dan yang paling berbahaya adalah adanya rasa egois dan arogan, dimana hal tersebut sangat berpotensi menjadi titik buta seseorang dalam berkarir.
Bagaimana bila anda adalah seorang pemimpin? Profesi ini sangat rentan dengan blindspot, terutama titik buta terhadap posisi, dimana individu yang berada di posisi yang lebih tinggi dalam jabatannya akan merasa terpaku dengan posisinya, sehingga cenderung akan meremehkan bahkan mengabaikan pendapat dari orang lain, terutama para anggotanya. Aspek kekuasaan dalam suatu posisi ini bisa menciptakan tingkat kepercayaan diri yang tinggi.
Pada hakikatnya, kepemimpinan bukanlah pesoalan tentang jabatan atau gelar, melainkan tentang sebuah proses pembentukan diri seseorang yang membutuhkan waktu. Kepemimpinan berhubungan dengan tenaga manusia atau kelompok yang terorganisasi dan sebagai suatu kekuatan atau potensi. Seorang pemimpin harus memberikan hasil kerja, akan tetapi hasil kerja tersebut bergantung pada orang lain.
Pemimpin konvensional jarang sekali memikirkan kembali apakah pemikiran dan persepsinya secara efektif masih dapat memperoleh kesempatan untuk mencapai tujuan organisasinya, hingga akhirnya pemimpin seperti ini akan jatuh pada pola
situasi yang membutuhkan usaha lebih untuk menjalani perannya dalam organisasi tersebut. Pemimpin seharusnya melakukan peninjauan mengenai asumsi, paradigma serta mencoba mencari pandangan yang holistik tentang gaya kepemimpinannya. Contoh sederhana, apakah dalam membuat keputusan kita melakukannya secara independen atau bertanya pendapat orang lain? Apakah bertindak cepat menurut anda lebih baik atau memperkirakan akibat atau implikasinya terlebih dahulu? Ketika anda berkomunikasi dengan tim anda, apakah hal yang anda komunikasikan dengan tim anda berupa hal yang spontanitas atau sudah anda persiapkan secara terstruktur? dan yang paling penting, apakah kencederungan-kecenderungan tersebut mempengaruhi efektifitas anda sebagai pemimpin?
Oleh karena itu, penting untuk memiliki panutan atau “coach” untuk melatih diri. Coach di sini bukanlah pelatih dalam arti harfiah, melainkan mencari panutan yang bisa kita minta bantuannya untuk membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik. Siapapun itu bisa jadi teman, guru, senior, kolega di kantor, dan jika diperlukan juga bisa bergabung ke dalam komunitas atau grup motivasi yang motivatornya bisa diajak tukar pikiran, dapat dimintai saran atau arahan.
Tak bisa dipungkiri, bahwa untuk melihat kekurangan diri sendiri itu memang lebih sulit. Susah untuk bersikap kritis terhadap diri sendiri. Akhirnya, kita sulit menentukan mana yang harus ditingkatkan, dipertahankan dan mana yang harus diperbaiki.
Seringnya juga kita tidak menyadari seberapa banyak kesempatan yang telah terbuang sia-sia untuk berkembang dan maju, bagi kita sebagai individu dan bagi organisasi, oleh karena kebutaan ini. Oleh sebab itu, jangan biarkan blindspot ini menguasai anda. Hindarilah sebisa mungkin manifestasi tindakan-tindakan tersebut yang tanpa kita sadari dapat menghambat karir kita.
Penulis adalah : Mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala dan Dokter Umum di Rumah Sakit Pertamedika Ummi Rosnati Banda Aceh