BANDA ACEH – Anggota Majelis Permusyawaratan (MPU) Kota Banda Aceh, Tgk Umar Rafsanjani Lc MA menyampaikan bahwa otleransi adalah salah satu nilai dasar dalam kehidupan bermasyarakat yang mendorong keberagaman dan saling menghargai.
Dalam konteks pluralisme, toleransi memungkinkan berbagai kelompok dengan keyakinan dan pandangan berbeda hidup berdampingan dengan damai.
Namun, ada titik di mana toleransi melewati batas sehingga menimbulkan dampak negatif. Fenomena ini sering disebut sebagai “toleransi kebablasan” yaitu ketika toleransi diberikan secara berlebihan sehingga mengabaikan prinsip-prinsip dasar yang seharusnya dijaga.
Pimpinan Dayah Mini Aceh ini menilai jila toleransi kebablasan terjadi ketika terlalu terbuka menerima segala hal tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap norma sosial, agama, dan etika.
Sebagai contoh, di era keterbukaan informasi, kebebasan berpendapat yang tidak terbatas sering kali disalahgunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian atau pandangan ekstrem. Dalam kasus ini, toleransi terhadap kebebasan tersebut menjadi keblablasan karena justru merusak kohesi sosial dan nilai-nilai moral yang ada.
Salah satu contoh fenomena toleransi keblablasan yang baru-baru ini terjadi adalah ketika seorang muslim mencium tangan Paus, seorang tokoh agama Kristen, dalam konteks kerukunan antarumat beragama dan sementara tindakan ini dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan, namun dalam pandangan sebagian umat Islam, ini dianggap melanggar batas karena bertentangan dengan ajaran agama mereka terkait interaksi antaragama. Tindakan ini memicu perdebatan, karena dianggap melemahkan prinsip-prinsip keyakinan dengan dalih toleransi.
Tindakan seperti ini, meski bertujuan mempererat hubungan antaragama, dapat dianggap sebagai kompromi terhadap nilai-nilai yang dianut sendiri. Alih-alih mempromosikan harmoni, ia justru menciptakan ketegangan dan kebingungan di kalangan umat, yang merasa bahwa toleransi terhadap keyakinan agama lain tidak seharusnya mengorbankan prinsip-prinsip yang mereka junjung tinggi.
Dampak dari Toleransi Keblablasan
Ketika toleransi diberikan secara berlebihan tanpa batas, nilai-nilai moral dan etika yang menjadi dasar kehidupan bermasyarakat dapat terkikis. Dalam konteks agama, misalnya, terlalu longgar dalam menerima praktik atau keyakinan agama lain dapat menyebabkan hilangnya identitas dan prinsip yang selama ini dijaga. Selain itu, toleransi keblablasan berisiko menciptakan konflik sosial, di mana masyarakat menjadi bingung dalam menentukan mana batasan yang harus dihormati dan mana yang perlu diluruskan.
Lebih lanjut disampaikan jika toleransi yang berlebihan dapat menjadi bumerang jika tidak diimbangi dengan kesadaran akan batasan yang jelas. Fenomena toleransi keblablasan tidak hanya merusak nilai-nilai dasar yang ada, tetapi juga dapat menciptakan ketegangan baru di tengah masyarakat.
“Oleh karena itu, kita di Aceh penting untuk menerapkan toleransi dengan bijak, menghargai perbedaan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar yang menopang kehidupan bersama. Tidak usah ikut ikutan karena kita punya konsep dan nilai nilai toleransi tersendiri yang telah menjadi budaya turun temurun yang terpoles dengan syari’at dan aqidah tanpa tawar menawar.” Demikian ujarnya. (ra)