BANDA ACEH – Hingga saat ini, posisi Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) yang definitif masih belum terisi. Kekosongan jabatan tersebut terjadi sejak meninggalnya Profesor Farid Wajdi Ibrahim, Ketua MAA periode 2021-2026, pada 14 Agustus 2021. Pemerintah Aceh pun belum menunjukkan langkah konkret untuk menyelesaikan persoalan ini.
“Saat ini, MAA dijalankan oleh wakil ketua satu dan dua yang disebut pimpinan kolektif kolegial,” ujar Dr. Usman Lamreung, pengamat politik dan sosial dari Universitas Abulyatama (Unaya).
Menurut Usman, berdasarkan Qanun MAA Nomor 8 Tahun 2019, kewenangan kolektif kolegial sangat terbatas dan bahkan tidak diperbolehkan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) untuk perwakilan MAA.
Pernyataan tersebut disampaikan Usman saat berdiskusi seputar Majelis Adat Aceh (MAA) dalam bayang-bayang ada dan tiada,”, Selasa (21/1/2025) di Banda Aceh
Ia menyoroti bahwa pemerintah terkesan mengabaikan isu adat Aceh, padahal adat merupakan salah satu perekat dalam kehidupan bernegara di Aceh. “Ini merupakan amanah Undang-Undang Kekhususan Aceh yang diatur dalam Qanun Nomor 8 Tahun 2019 tentang MAA,” tambahnya.
Selama MAA dipimpin oleh wakil ketua, hampir seluruh tugas tidak berjalan efektif. Aktivitas MAA lebih banyak berfokus pada kegiatan seremonial yang justru menghabiskan anggaran negara untuk perjalanan dinas.
Usman juga mencurigai adanya pembiaran untuk tidak diselesaikan sehingga sampai saat ini belum ada Ketua Definitif dan melemahkan MAA. Hal ini terlihat dari gagalnya proses musyawarah pengganti ketua selama empat periode pemerintahan gubernur Aceh, mulai dari masa Nova Iriansyah, kemudian Pj. Gubernur Ahmad Marzuki, Pj. Gubernur Bustami Hamzah, hingga Pj. Gubernur Safrizal ZA. Hingga kini, langkah tegas terkait MAA masih ditunggu, ungkap Usman Lamreung. (ra/drh)