Meulaboh (RA)– Pengalaman petani ‘rugi,’ usai sempat gagal panen, masih saja membekas dibenak mereka. Penyebabnya, air yang diduga kontaminasi limbah batu bara, menggenangi area sawah.
Namun mereka hanya pasrah dan tetap tekun membajak sawah untuk bercocok tanam. Semata, demi menyambung hidup keluarga dari hasil penjualan gabah.
Rutinitas petani pada musim gadu ini, terlihat penuh antusias di pagi Selasa (28/5) kemarin. Dari area sekitar 30 hektar lahan sawah produktif, Desa Balee, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat.
Tak banyak kata antara satu sama lainnya, tapi tangan kokoh petani, terlihat begitu aktif dan terampil melakukan berbagai pekerjaan. Seperti membajak, semai benih, hingga ada yang telah memulai menanam bibit padi, berusia 15 hari.
Tapi, pandangan mata mereka tetap saja menoleh kearah parit atau tali air yang melingkar panjang di tepian persawahan. Terlihat air mengalir berwarna sangat keruh. Coklat–menghitam.
“Sejak kemarin air terlihat mulai keruh. Ini tandanya air sudah bercampur dengan limbah baru bara,” klaim Yusuf (60) Ketua Kelompok Tani Ingin Maju, Desa Balee, Selasa (28/5).
Kekhawatiran mereka, jika curah hujan mendadak meningkat (intensitas), peluang terganggu masa pertumbuhan tanaman, sampai terancam gagal panen, dapat saja berpeluang terjadi.
“Tahun 2017 lalu, pernah kejadian gagal panen. Dari 12 petak sawah ukuran 30 meter kali 30 meter milik saya, hanya tersisa tiga petak yang selamat. Itupun, pertumbuhannya tidak sempurnah lagi,” keluh Yusuf.
Ancaman gagal panen demikian, sambung Yusuf, dapat saja terjadi, jika seluruh tanaman (akar sampai pucuk) padi tergenang air yang telah tercemar limbah batu bara, minimal dalam kurun waktu tiga hari.
Dimulai dari gejala batang tanaman padi melayu kuning kusam hingga berangsur kering dan berujung mati.
Tapi efeknya bakalan berbeda, jika tanaman padi yang mulai mengeluarkan bulir (butir) padi tergenang air yang mulai tercemar. Otomatis, warna kulit gabah hasil panen, bakalan berwarna hitam atau kecoklatan.
“Kalau bentuk kulit padi sudah kusam kotor (menghitam), pasti harga jual juga bakalan anjlok turun. Sebagai contoh satu goni ukuran 18 Kg yang biasa Rp 90 ribu, bisa turun mencapi Rp 50 ribu,” kalkulasinya Yusuf, mengaku rugi.
Kondisi bulir padi menghitam demikian, sambung Yusuf, telah sering terjadi. Karena hanya butuh waktu terandam sehari semalam oleh air tercemar limbah, telah mampu merubah warna kuning padi menjadi kusam menghitam.
“Saya ada rencana, jika sampai terulang padi menghitam lagi. Tidak akan mau jual murah lagi. Akan saya ajak semua petani mengumpulkan padi, biar ramai-ramai kami bawa ke perusahaan tambang batu bara. Menuntut PT. Mifa Bersaudara untuk bertangung jawab dengan membeli hasil panen kami,” rencanannya.
Yusuf juga mengancam, jika dalam kurun waktu dua tahun kedepan, masalah gangguan air limbah batu bara tidak mampu ditangani perusahaan tambang, ia berencana akan mengajak seluruh petani menghentikan aktivitas bercocok tanam padi.
Kejenuhan ini, jelas Yusuf, karena sejak lima tahun terakhir, ia mengaku tiap tahun, selalu ada melayangkan protes kepada pihak perusahaan.
“Males ribut tiap tahun dengan PT. Mifa aja. Kalau seperti ini terus-terusan, mendingan pilih tidak membajak sawah lagi aja,” ucapnya frustrasi.
CSR dan Corporate Communication Manager PT. Mifa Bersaudara, Azizon Nurza, Senin (27/5) malam, usai berbuka puasa bersama sejumlah wartawan, malah mempersilahkan warga atau petani untuk melaporkan keluhan dugaan limbah batu bara kepada Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kabupaten Aceh Barat. “Lapor ke DLHK dulu, biar di cek pada laboratorium,” jawabnya.
Jika berdasarkan kajian Lab, menyimpulkan hasil positif atau benar adanya pencemaran limbah batu bara, maka manajemen perusahaan akan menindaklanjuti penanganan limbah, sesuai aturan yang berlaku. (den)