class="post-template-default single single-post postid-91740 single-format-standard wp-custom-logo" >

Menu

Mode Gelap
BKN Pangkas Anggaran BBM Hingga Daya Listrik Penembakan Massal di Sekolah Orebro Swedia Tewaskan 10 Orang 13 Toko dan 11 Unit Rumah di Bandar Baru Terbakar ISBI Aceh dan Pemkab Aceh Timur Sepakat Kolaborasi Pendidikan Seni Budaya Bersama MK Tolak Gugatan Pilkada Lhokseumawe, Saatnya Bersatu Untuk Kota Lhokseumawe

OPINI · 17 May 2023 10:26 WIB ·

Mengenal Data Aplikasi PPGBM di Aceh


 R A D A L I, S.S.T Perbesar

R A D A L I, S.S.T

Oleh: R A D A L I, S.S.T

Berdasarkan pengumuman hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada 27 Januari 2023 oleh Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, langsung mendapatkan beragam respon dari beberapa pejabat di lingkup Provinsi Aceh maupun pejabat di lingkup kabupaten/kota. Adapun respon tersebut berlandaskan kepada ketimpangan data SSGI 2022 dengan data yang diperoleh langsung di lapangan melalui aplikasi e-PPGBM (elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat) yang menurut versi pemerintah daerah sebagai data yang akurat.

Sedangkan data hasil survei SSGI tahun 2022, jumlah prevalensi balita stunting dan masalah gizi lainya di Provinsi Aceh mencapai 31,2% persen sedangkan berdasarkan pada data e-PPGBM prevalensi balita stunting di Aceh berkisar  8-15%.begitu juga dengan data di kabupaten/Kota yang ada di provinsi Aceh, Klaim terhadap keakuratan data yang dilakukan oleh pemerintah daerah, dimana data e-PPGBM sebagai rujukannya memang banyak terjadi dibanyak daerah lainnya di Indonesia.

Benarkah hasil SGGI kurang akurat bila dibandingkan dengan hasil e-PPGMB?.

Pertanyaan ini muncul sebagian besar di kalangan pemangku kepentingan, bahkan para akademisi karena data E-PPGBM adalah data faktual yang dikumpulkan setiap bulannya oleh tenaga gizi/ kesehatan dalam hal ini pengukuran yang dilakukan diposyandu yang dilaporkan ke puskesmas melalui bidan desa, Lalu bagaimana  dengan data Survey status Gizi Indonesia (SSGI) kegiatan ini merupakan survei yang dilakukan di seluruh wilayah Indonesia, dengan metode survei dan dilakukan agar bisa menunjukkan hasil yang representatif atau mewakili kondisi di Indonesia yang dilakukan oleh  Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kemenkes.

Jadi perbandingan data E-PPGBM dengan data SSGI adalah manisfestasi dari gambaran data yang ada di E-PPGBM, namun pada saat ini terlalu besar kesenjanngannya, Apa yang terjadi sebenarnya?

 Menurut hemat saya kesenjangan data E-PPGBM dan SSGI akan tidak terlalu berbeda apabila data yang masuk ke E-PPGBM masuk 100%  dan data yang di ambil di ukur oleh tenaga ahli dalam hal ini ahli gizi atau tenaga terlatih dengan mengunakan peralatan antropometri yang standar

Bagaimana seharusnya kita memahami perbedaan hasil kedua pengukuran tersebut?.

Polemik Data

Tidak hanya terkait dengan kemiskinan ataupun akses terhadap pangan namun, stunting juga memiliki keterkaitan dengan pola asuh dan pemberian makan pada balita dan faktor lainya. Untuk itu, terlepas dari mana data yang paling akurat di antara e-PPGBM dan SSGI, yang paling penting dan harus menjadi perhatian bagi pemerintah daerah adalah fakta masih banyaknya bayi atau balita di Aceh yang tidak sesuai dengan pengukuran dan di ukur oleh petugas tidak terlatih yang diperparah lagi alat antropometri yang belum berstandar.

Artinya tidak harus saling membanggakan atau saling mematahkan data mana yang paling akurat diantara e-PPGBM dan SSGI. Namu keduanya adalah bagian dari data yang dihasilkan melalui proses pendataan dari lapangan namum perbedaanya SSGI di ambil tidak selamanya ada ukuran rentang waktu sedangkan E-PPGBM setiap bulannya.

Berdasarkan berbagai hasil kajian serta pengertian antara e-PPGBM dan SSGI yang penulis rangkum dari berbagai sumber, aplikasi e-PPGBM pertama kali diperkenalkan pada 2017 oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Aplikasi ini diperuntukkan untuk mencatat dan melaporkan hasil pengukuran status gizi yang dilakukan oleh masyarakat (kader) secara langsung. Aplikasi e-PPGBM dibuat tentunya untuk mempermudah para kader didalam memberikan laporan hasil pengukuran yang dilakukan di posyandu sekaligus juga untuk mempermudah petugas gizi yang ada di puskesmas serta para pemangku kebijakan mulai dari tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional untuk melakukan pemantauan status gizi anak balita.

Sedangkan SSGI berlandaskan pada hasil survei secara nasional yang dimulai pada 2019 dan 2021.Untuk tahun 2020 tidak dilakukan karena pandemi Covid-19. SSGI dilakukan sebagai kebutuhan evaluasi di tingkat nasional sampai kabupaten/kota, survei ini didesain agar jumlah sampel mewakili sampai di tingkat kabupaten/kota. Adapun pelaksanaan SSGI dilakukan atau melibatkan para petugas lapangan atau enumerator terlatih dengan latar belakang pendidikan gizi (minimal diploma tiga ilmu gizi). Mereka memperoleh pelatihan yang optimal serta menggunakan alat ukur yang terstandardisasi. Selain itu, terdapat satu supervisor yang terlatih untuk setiap kabupaten dalam menjamin kualitas pengumpulan data di lapangan.

Latar belakang serta pemahaman yang berbeda dari para petugas e-PPGBM dan SSGI serta supervisi yang terbatas tentunya akan mempengaruhi kualitas data yang diperoleh. dari sifat penggunaannya juga memiliki perbedaan, sehingga seharusnya tidak perlu membandingkan kedua alat pengukuran ini.

Aplikasi e-PPGBM yang menjangkau seluruh balita di desa dimaksudkan sebagai cara untuk memonitor status gizi yang dilakukan oleh kader atau petugas gizi yang ada di puskesmas. Sedangkan SGGI memang ditujukan sebagai alat evaluasi terhadap kemajuan intervensi gizi yang dilakukan sesuai dengan prosedur pengukuran yang terstandarisasi. Aplikasi e-PPGBM memiliki keunggulan karena data tersedia by name by address sehingga dapat digunakan untuk intervensi gizi dengan cepat. Selain itu, data ini menjadi dasar perencanaan yang dilakukan oleh kabupaten saat melakukan analisis situasi setiap awal tahun. Kesalahan yang terjadi selama ini adalah data e-PPGBM dibandingkan dengan data survei sebagai data evaluasi program.

Evaluasi Penanganan Stunting

Polemik tentang alat pengukuran mana yang paling akurat atau tepat saat ini sudah tidak relevan lagi, mengingat persoalan data masih menjadi suatu tantangan bagi pembangunan di daerah  yang terpenting saat ini adalah pemerintah daerah terus melakukan evaluasi terhadap program penanggulangan stunting yang telah dilakukan.

Hal ini penting untuk diperhatikan agar dapat memberikan penilaian terhadap pengaruh dan efektivitas dari program yang telah dilakukan selama ini menjadi semakin baik. Jangan hanya untuk melihat penurunan prevalensi stunting yang drastis setiap tahunnya menjadikan hasil pengukuran dengan metode yang berbeda langsung dianggap sebagai momok, dimana pada umumnya data e-PPGBM memberikan hasil prevalensi yang rendah sehingga ada keinginan untuk membantah data yang bersumber dari metode dan kegunaan yang berbeda tersebut.

Intervensi penanganan stunting melalui pemberian makanan tambahan bagi balita dan pemberian tablet penambah darah kepada remaja putri tidaklah cukup tanpa ada upaya atau kebijakan yang bertujuan untuk merubah perilaku masyarakat untuk melakukan pola hidup sehat. Sosialisasi yang dilakukan oleh aparatur pemerintah daerah juga seharusnya diimbangi dengan menggandeng tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh adat untuk mensosialisasikan serta memberikan contoh perilaku hidup sehat serta mendakwahkan/mengkampanyekan upaya pencegahan stunting.

Menurut penulis, mengingat upaya pencegahan dan penanganan prevalensi stunting ini membutuhkan dana yang tidak sedikit maka, pemerintah daerah sebaiknya perlu melibatkan pihak tenaga ahli atau organisasi khusus  kesehatan untuk memvalidasi secara akurat di tingkat pedesaan sebelum data di enteri ke E-PPGBM. Selain itu perlu ada perhatian khusus dari pemangku kepentingan dalam rangka penurunan prevalensi masalah gizi di Aceh.

Selain itu penurunan prevalensi stunting tidak dapat terjadi dalam sekejap hanya mengandalkan pemberian makanan tambahan terhadap balita namun, penurunan prevalensi stunting membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit.oleh karena itu sebenarnya polemik data ini sebenarnya tidak perlu dibesar-besarkan namun masing masing data bisa menemukan sebuah gambaran bagaimana masalah stunting di aceh dapat dilakukan intervensi secepatnya dan bisa mengejar taraget yang diharapkan,  selain itu peran pemerintah daerah sangat besar dalam penanggulangan stunting di Aceh, dalam upaya menurunkan stunting mencapai target 14 persen RPJMN di tahun 2024 dapat tercapai.

Penulis, Mahasiswa (S2) Magister Kesehatan Masyarakat (MKM) Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

Artikel ini telah dibaca 18 kali

badge-check

Penulis

Comments are closed.

Baca Lainnya

Masihkah Seni Dibutuhkan di Aceh?

2 February 2025 - 10:35 WIB

Seni Rupa Aceh dalam Hadih Maja: Menggali Relasi Seni Rupa dan Sastra Tradisional

27 January 2025 - 21:51 WIB

Menanti Kedatangan Simbol Kebudayaan RI; Fadli Zon, di ISBI Aceh

8 January 2025 - 07:55 WIB

Refleksi 20 Tahun Pasca Tsunami: Menata Kembali Seni dan Budaya yang Hilang

5 January 2025 - 06:26 WIB

Revisi Konsep Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

27 December 2024 - 14:57 WIB

Menata ISBI Aceh 2025 Menuju Institusi Pendidikan Seni Berstandar Internasional

27 December 2024 - 06:30 WIB

Trending di OPINI