HARIANRAKYATACEH.COM – Sapaan ramah sambil menangkupkan kedua tangan menyambut tujuh tamu yang datang ke Kafe Crazy Roll di kawasan Taling Chan, Bangkok, Thailand.
Tak mudah menemukan kafe itu, apalagi bagi turis asing. Lokasinya sedikit tersembunyi karena berada di dalam bar yang bersebelahan langsung dengan sungai dan area permukiman padat. Setelah menaiki tangga kecil nan curam, di lantai 2 The Fence Craft Beer Bar pengunjung akan memasuki ruangan kecil berukuran 2,5 x 6 meter. Di tempat itulah para tamu bebas menikmati sajian menu utamanya: daun ganja.
Sang tuan rumah, Sutthiporn Boonsaard, dengan senang hati membantu tamu-tamunya untuk meramu dan memilih beraneka ragam daun ganja. ’’Ada ganja sativa, indica, dan rudealis,’’ katanya sambil menjelaskan perbedaan masing-masing pada Jumat malam awal April lalu (7/4).
Di balik sosok ramah M, sapaan karib Sutthiporn Boonsaard, dia juga seorang penegak hukum berpangkat sersan. Pria 32 tahun itu merupakan polisi aktif yang tugasnya menangkap para pengguna ganja yang mengisap di tempat umum.
Tahun lalu, Thailand resmi melegalkan penanaman ganja dan konsumsinya dalam minuman maupun makanan. Kendati demikian, pemerintah setempat tetap melarang orang mengisap ganja di ruang publik.
Siapa pun yang melanggar, siap-siap saja membayar denda sekitar Rp 10 juta. Thailand sekarang menjadi negara pertama di Asia yang menerapkan kebijakan itu dengan tujuan meningkatkan sektor pertanian dan pariwisata.
Tujuh tahun pertama menjadi polisi dihabiskan Sersan M sebagai pasukan pengamanan di kediaman raja Thailand di Bangkok. Selanjutnya, dua tahun terakhir, dia dipindahtugaskan ke Kepolisian Metro Buppharam yang tugasnya menghentikan, menggeledah, dan menangkap pengguna ganja di ruang publik.
Dia beberapa kali menangkap orang-orang yang memicu keributan dan menjual ganja dengan lisensi palsu. ’’Kalau sedang bertugas, saya menangkap orang yang mengisap ganja di depan umum. Tapi, kalau sedang tidak bertugas, saya menjual ganja dan have fun,’’ ujar Sutthiporn sambil menunjukkan foto di ponselnya saat berseragam polisi.
Meski telah menjadi abdi negara, kesenangannya pada tanaman ganja tak luntur. Pada 14 Oktober 2022, dia akhirnya membuat satu keputusan penting: membuka Kafe Crazy Roll. ’’Di hari pertama, hanya ada gabungan tiga batang rokok yang terjual. Namun, bagaimanapun, saya tetap yakin soal masa depan kafe ini,’’ ucap pria asli Bangkok tersebut.
Rasa penasarannya pada ’’cimeng’’ tumbuh sejak remaja. Pada usia 18 tahun, dia bersama temannya, Wu, iseng mengisap ganja di bong akrilik warna biru bergambar Bob Marley. ’’Saya penasaran karena ternyata ganja malah membuat rileks, bahagia, dan sensasinya berbeda dengan mabuk akibat minuman keras,’’ ungkap M.
Peristiwa itu menjadi titik balik bagi M. Dia mulai memenuhi hasrat penasarannya dengan berselancar di dunia maya. Menjelajahi YouTube, Google, hingga menyaksikan forum-forum diskusi di Thailand sudah pernah dia lakoni. ’’Setelah itu, saya mulai menanam 10–12 pohon ganja di balkon apartemen,’’ lanjutnya.
Seiring waktu, polisi berpangkat sersan mayor itu juga mempelajari ciri-ciri ganja. Mulai dari rasa dan aroma hingga terpene (senyawa aromatik yang terkandung dalam tumbuhan).
Selama menjadi penjual ganja, Sutthiporn Boonsaard mendapat dukungan dari kawan dan keluarga. Tak sulit mengundang para pelanggan ke kafenya. Suasana ruangan yang cozy sambil lesehan di bean bag beralaskan karpet tebal membuat pengunjung seakan-akan berada di rumah sendiri.
Koneksi dan rekan-rekan M juga membantu menyebarkan promosi Crazy Roll dari mulut ke mulut. Beberapa pelanggan bahkan merupakan sejawat polisi di kantor yang sama. ’’Bos saya kadang juga mampir ke sini,’’ tuturnya.
Agar dua sisi mata pedang kehidupannya tetap seiring sejalan, Sersan M harus benar-benar menjaga sikap dan mengendalikan diri. Sebagai representasi dari negara, M tak pernah tebang pilih dalam menghukum warga yang melanggar. Dia juga tidak memperbolehkan orang saat mengisap ganja keluar dari pintu kafenya. Dia tak segan menunjukkan peraturan tentang ganja yang ada di ponselnya kepada para tamu.
Sutthiporn berharap perdana menteri yang baru nantinya memiliki visi untuk mendukung perkembangan ganja di Negeri Gajah Putih. Terutama perlunya aturan yang lebih jelas dan konkret terkait mekanisme penjualan dan ekspor-impor.
Hal lain yang menjadi perhatiannya adalah investor asing dan penyelundupan ganja ilegal. Dua hal itu menyebabkan merosotnya harga jual ganja dalam enam tahun terakhir. ’’Dulu saya bisa menjual 1 gram ganja sekitar 900 baht (Rp 380 ribu). Tapi, sekarang harganya turun jadi 300–500 baht (sekitar Rp 130 ribu–Rp 210 ribu),’’ terangnya.
’’Sersan ganja’’ Thailand itu berharap stigma masyarakat akan efek buruk ganja bisa terkikis sehingga penjual ganja dapat semakin memutar kencang roda perekonomian melalui penjualan ’’cimeng’’. ’’Saya berharap pemahaman masyarakat semakin terbuka luas sehingga para penjual dan pengguna ganja tidak serta-merta dihakimi,’’ imbuhnya. (ttg/jpg/ra)