ACEH TAMIANG (RA) – Rusdi (45), seorang petani pisang di Desa Tanah Terban, Kecamatan Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang ingin mendorong pemerintah daerah menggalakkan areal perkebunan pisang untuk membantu perekonomian masyarakat.
Sejauh ini, petani yang membudi dayakan komoditi pisang sangat minim, sehingga kebutuhan pisang di daerah masih dipasok dari luar. Padahal prospek disektor ini sangat menjanjikan utuk digeluti. Seperti pisang jenis barangan misalnya, harga paling murah Rp15 ribu hingga Rp25 ribu/sisir.
“Harapan kita agar pemerintah daerah menggalakkan pertanian rakyat melalui pisang ini, supaya masyarakat maju dan makmur, karena prospeknya meyakinkan. Saya yakin dari pisang bisa membantu perekonomian daerah bersama perekonomian rakyat sekaligus,” kata Rusdi kepada Rakyat Aceh di gudang pisang miliknya, Desa Tanah Terban, Karang Baru, Minggu (18/7).
Mantan Caleg DPRK dari partai NasDem ini memiliki kebun pisang barangan seluas 4 hektare. Dalam satu bulan bisa 2-3 kali panen dengan hasil 40-100 tandan. Pisang-pisang tersebut tidak dijual kepada penadah di pajak kota, tapi dijual secara eceran dengan harga barangan super Rp25 ribu/sisir dan Rp80-90 ribu/tandan ditingkat konsumen.
“Kebun seluas 4 Ha berisi sekitar 6000 batang pisang. Maunya jangan kita sendiri yang tanam pisang harus secara luas dikembangkan. Jadi lebih banyak lagi perkebunan pisang di Aceh Tamiang,” ujar pria yang akrab disapa Amin Rais ini.
Ia pun membandingkan antara kebun kelapa sawit dan kebun pisang barangan, hasilnya jauh lebih untung menanam pisang. “Perbandingannya 4 hektare pisang sama 10 hektare sawit hasil panennya masih menang pisang,” sebut Amin.
Menurutnya, selama ini pisang dari hasil kebun Amin Rais hanya untuk kebutuhan lokal saja, belum menembus pasar luar daerah. Tujuan agar pertanian pisang lebih digalakkan, selain berpeluang menyejahterakan masyarakat, pisang juga bisa dijadikan komoditi andalah daerah, agar tidak bergantung dengan daerah lain.
Kebutuhan pisang di Aceh Tamiang masih disuplay dari luar daerah Aceh, seperti Padang Tiji, Sareh, Peureulak, Panton Labu dan Sigli. Ada juga dari Sumatera Utara. Namun yang jadi masalah, harga di Aceh Tamiang tidak menarik bagi penyuplai karena murah.
“Kita kalah harga, suplayer lebih memilih tolak ke daerah lain,” bebernya.
Untuk menyiasati harga murah itu, Amin Rais merancang tidak serentak saat tanam pisang supaya waktu panen tidak bersamaan. Jika berencana akan tanam sebanyak 2000 batang pisang, untuk mencapai target itu, maka per hari Amin Rais hanya tanam 6-8 batang saja.
Pola tidak seragam berbuah itu sengaja dia lakukan guna menghindari penumpukan pisang sewaktu panen.
“Disini belum ada penampungan khusus. Kalau tanam serentak saat pisang tua harus dipanen sekaligus, pasti tidak tercover untuk tingkat konsumsi di Aceh Tamiang. Kalau ada perusahan produk banana boleh kita seragamkan tanam,” kata petani lulusan Sarjana Ekonomi ini.
Meski dimasa pandemi Covid-19, namun penghasilan Amin Rais jadi petani pisang tidak terganggu. Apalagi musim panen perdana, dia bisa maraup omzet hingga Rp6 juta/bulan. Biarpun buah pisangnya hanya untuk persedian stok lokal, namun Amin Rais sudah dikenal banyak orang membuat dagangannya selalu laris manis.
“Setiap hari saya jual pisang sendiri pakai becak motor. Ecer di pajak, kaki lima, dan ada juga permintaan rumah tangga yang pesan. Karena punya kita pisang super bukan pisang pajak,” pungkas agen surat kabar di Aceh Tamiang tersebut. (mag86/ra)