BANDA ACEH (RA) – International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bekerja sama dengan Flower Aceh dan Pusat Riset HAM Universitas Syiah Kuala telah mengadakan Webinar Nasional dengan tema “Kebijakan dan Aturan Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan Korban Kekerasan Seksualdalam Pemenuhan Hak Asasi Perempuan di Aceh”.
Webinar ini dibuka pidato kunci oleh Ibu Bintang Puspayoga, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Ibu Bintang memaparkan data kekerasan seksual di Provinsi Aceh yang mencapai 162 kasus sepanjang tahun 2020 (SIMFONI PPA,2020). Ia juga menyampaikan bahwa jumlah kasus yang terjadi di lapangan bisa jauh lebih besar, karena banyaknya kasus yang tidak terlaporkan. Bintang menekankan bahwa berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi kekerasan seksual di Indonesia. Namun, dalam penangananya masih belum memiliki mekanisme khusus, spesifik, dan berperspektif korban.
Oleh karena itu, Bintang menyampaikan bahwa RUU P-KS harus segera disahkan karena sudah memenuhi syarat landasan filosofis, sosiologis, yuridis, memuat sistem pencegahan yang komprehensif, dan pengaturan yang berperspektif korban.
Andy Yentriyani selaku Ketua Komnas Perempuan, menyampaikan kekhawatirannya mengenai kasus kekerasan seksual di Aceh. Andy menuturkan bahwa kasus kekerasan seksual di Aceh terus meningkat, tetapi kasus yang diputus di pengadilan begitu rendah. Padahal, Aceh telah memiliki UU Pemerintahan Aceh pasal 231 untuk memajukan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak di Aceh serta upaya pemberdayaan yang bermartabat.
Aceh juga telah memiliki sejumlah Qanun untuk perlindungan perempuan, contohnya Qanun no 6 tahun 2009 menyatakan bahwa setiap perempuan yang berhadapan dengan hukum termasuk posisi sebagai korban, tersangka,terdakwa atau tahanan memiliki
hak atas pengamanan.
Permasalahan rendahnya kasus kekerasan seksual yang di putus oleh pengadilan di Aceh kemudian dijawab oleh pembicara selanjutnya yaitu Ibu Rasyidah yang merupakan Presidium Balai Syura Uerung Inong Aceh.
Rasyidah menyampaikan bahwa pada kasus kekerasan seksual, pemerintah Aceh berpegang pada Qanun tentang hukum Jinayat yang menerapkan hukuman di antaranya cambuk, denda emas, atau penjara.
Sementara, hasil survei cepat yang dilakukan oleh Rasyidah di beberapa Mahkamah Syariah di Aceh pada tahun 2020, menunjukkan bahwa mayoritas Mahkamah Syariah menerapkan hukuman cambuk pada pelaku kekerasan seksual. Hal tersebut membuat banyak korban enggan untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya, karena hukum cambuk dianggap terlalu ringan.
Lebih lanjut Rasyidah mengutip pendapat orang tua korban perkosaan mengenai hukum cambuk “Kalau tahu hukuman ini hanya cambuk saya tidak terfikir berani untuk melaporkannya, kenapa tidak bisa seperti di TV yang dipenjara 20 tahun?”. (ra/rus)