RAKYAT ACEH | BANDA ACEH – Ryan Bin Jipiar (30), pemuda asal Gampong Kramat Dalam, Kecamatan Kota Sigli, Pidie, mengalami kendala administrasi saat akan dipulangkan dari Rumah Sakit Umum Daerah dr Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh setelah menyelesaikan perawatan medis. Biaya perawatan medis Ryan tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, Pasal 52 Ayat 1 poin r tentang Manfaat yang Tidak Dijamin, yang mencantumkan 21 kondisi yang tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan.
Keluarga Ryan kebingungan karena tidak mampu melunasi biaya rumah sakit. Kakak korban menghubungi Muhammad Daud, Staf Ahli H. Sudirman Haji Uma, untuk menyampaikan masalah tersebut. Staf Ahli Haji Uma kemudian menemui pihak RSUDZA untuk mencari solusi atas tunggakan biaya perawatan medis yang mencapai 48 juta rupiah. Akhirnya, masalah tersebut diselesaikan dengan keluarga hanya diharuskan membayar lima juta rupiah.
Karena keluarga tidak mampu membayar dan sulit mengakses layanan LPSK, biaya perawatan ditanggung oleh RSUDZA dengan syarat pasien menyerahkan surat keterangan tidak mampu. Pada tahun 2023, biaya yang harus ditanggung RSUDZA mencapai 700 juta rupiah karena tidak ditanggung BPJS Kesehatan.
Haji Uma menyoroti bahwa biaya perawatan medis untuk kasus seperti Ryan seharusnya menjadi tanggungan LPSK. Pemerintah telah menempatkan dana di LPSK, namun pemerintah Aceh tidak memiliki anggaran untuk menalangi biaya tersebut karena anggaran sudah habis untuk menalangi JKA.
RSUDZA telah memberi tahu keluarga sejak awal bahwa BPJS tidak bisa menanggung biaya tersebut dan layanan harus diarahkan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan beberapa persyaratan. Namun, menurut Muhammad Daud, LPSK mengharuskan korban terdaftar terlebih dahulu, dan akses ke LPSK tidak semudah akses ke BPJS yang terintegrasi di rumah sakit.
Haji Uma menyoroti kehadiran LPSK yang belum optimal dalam kasus semacam ini serta akses layanan yang tidak mudah diakses oleh masyarakat. Kasus kekerasan seksual, penganiayaan, dan kasus terkait lainnya yang menjadi wilayah tanggungan LPSK bisa terjadi kapan saja.
“Kita prihatin atas apa yang terjadi karena kasus serupa bisa terjadi kapan saja dan sesuai aturan tidak ditanggung BPJS walaupun tercatat sebagai peserta, namun menjadi ranahnya LPSK. Masalahnya, banyak masyarakat yang tidak tahu dan saluran akses terhadap layanannya tidak semudah BPJS,” ujar Haji Uma.
Haji Uma menambahkan bahwa LPSK harus hadir mewakili negara yang telah menempatkan dana di sana untuk layanan jaminan kesehatan kepada korban secara lebih mudah. Menurutnya, telah ada MoU antara BPJS dengan LPSK terkait layanan penanganan dan manfaatnya mesti dirasakan nyata oleh masyarakat.
“Jadi, jangan sampai masyarakat sudah jatuh tertimpa tangga. Untuk itu, perlu perhatian semua pihak terkait penguatan kerjasama antara pemerintah daerah, BPJS, LPSK, dan pihak rumah sakit dalam upaya optimalisasi layanan kepada masyarakat,” katanya.
Belajar dari kasus ini, Haji Uma berharap pemerintah melakukan evaluasi terhadap aturan terkait Jaminan Kesehatan, mencakup sistem formulasi layanan medis korban, apakah sebaiknya menjadi wilayah layanan BPJS dan terkomplementasi dengan LPSK atau skema terbaik lainnya sehingga masyarakat mendapat hak jaminan kesehatan yang dijamin perundangan.
“Belajar dari kasus ini, kita akan memberi laporan dan masukan kepada Komite yang membidangi hal ini nantinya sehingga dapat menjadi pertimbangan terkait aspek Jaminan Kesehatan bagi masyarakat,” tutup Haji Uma.(ra)