Oleh : Ichsan MSn, Dosen ISBI Aceh
DUA dekade telah berlalu sejak tragedi besar Tsunami Aceh meluluhlantakkan kehidupan masyarakat di ujung barat Nusantara.
Peristiwa pada 26 Desember 2004 itu tidak hanya membawa duka mendalam dengan hilangnya ratusan ribu jiwa, tetapi juga mengguncang tatanan sosial, ekonomi, serta budaya masyarakat Aceh.
Dalam kekacauan yang ditinggalkan tsunami, seni dan budaya Aceh pun menjadi korban. Banyak tradisi yang terputus, nilai-nilai yang terkikis, dan warisan budaya yang hilang di tengah upaya pemulihan.
Meski demikian, sejarah telah mengajarkan kita bahwa setiap tragedi membawa peluang untuk refleksi dan pembaruan. Seni dan budaya yang pernah hilang mungkin tidak bisa sepenuhnya dikembalikan seperti sediakala, tetapi kita dapat menjadikannya fondasi untuk membangun kembali identitas budaya yang lebih kokoh dan relevan dengan zaman yang lebih kekinian.
Di sisi lain, budaya yang muncul pasca-tsunami juga perlu kita telaah secara kritis, mana yang patut dilestarikan dan mana yang perlu ditinggalkan. Inilah panggilan kita hari ini, dua puluh tahun setelah tsunami, untuk menata kembali seni dan budaya Aceh dengan bijak.
Sebelum tsunami, Aceh dikenal sebagai salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan seni dan budaya yang unik. Tradisi seperti tarian Saman, Ratéb Meuseukat, Hikayat Aceh, dan seni ukir khas Aceh mencerminkan identitas masyarakat yang religius, berjiwa seni, dan penuh kearifan lokal.
Namun, konflik berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia sebelum tsunami telah menyebabkan degradasi terhadap warisan budaya ini. Banyak seniman yang kehilangan ruang ekspresi, sementara generasi muda mulai kehilangan akses terhadap pendidikan budaya yang memadai.
Setelah tsunami, kehilangan ini semakin terasa. Desa-desa yang dulunya menjadi pusat seni tradisional hancur, bersama para seniman dan tokoh adat yang menjadi korban. Tarian dan musik tradisional yang biasanya diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi mendadak terputus.
Perubahan sosial akibat tsunami juga membawa pengaruh baru dalam pola pikir masyarakat, di mana tradisi lama perlahan tergantikan oleh budaya global yang masuk bersama gelombang bantuan internasional.
Pasca-tsunami, Aceh mengalami transformasi besar dalam berbagai aspek kehidupan.
Berbagai budaya baru mulai masuk, baik yang berasal dari luar negeri maupun daerah lain di Indonesia. Gaya hidup modern, teknologi, dan nilai-nilai global mulai membaur dengan kehidupan masyarakat Aceh. Fenomena ini membawa peluang sekaligus tantangan bagi pelestarian budaya lokal.
Salah satu peluang positif adalah meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya dokumentasi dan pelestarian budaya.
Beberapa lembaga, baik pemerintah maupun non-pemerintah, mulai melakukan upaya penggalian kembali budaya Aceh yang hampir punah. Festival budaya, pelatihan seni tradisional, dan pameran seni mulai digelar untuk menghidupkan kembali semangat budaya lokal.
Tantangan terbesarnya adalah bagaimana menyeimbangkan antara budaya tradisional dan modern. Tidak semua budaya pasca-tsunami berdampak positif. Gaya hidup konsumtif, pergeseran nilai-nilai kekeluargaan, dan menurunnya minat generasi muda terhadap seni tradisional menjadi ancaman nyata. Jika dibiarkan, Aceh bisa kehilangan identitas budayanya yang telah bertahan selama berabad-abad.
Budaya adalah sesuatu yang dinamis, terus berkembang seiring waktu. Tsunami telah menjadi titik balik besar dalam sejarah Aceh, yang memaksa masyarakat untuk menata ulang cara hidup mereka, termasuk dalam hal budaya.
Dalam proses ini, penting untuk bersikap selektif, menjaga tradisi lama yang baik sekaligus menerima unsur-unsur baru yang membawa kebaikan.
Misalnya, tarian tradisional seperti Saman dan Ratéb Meuseukat perlu terus dilestarikan sebagai identitas budaya Aceh.
Namun, upaya pelestarian ini harus dilakukan dengan cara yang relevan dengan zaman. Membuka ruang kreatif bagi generasi muda untuk memadukan elemen tradisional dengan unsur-unsur modern bisa menjadi salah satu solusinya. Tarian tradisional bisa dikemas dalam bentuk pertunjukan kontemporer tanpa menghilangkan esensi budayanya.
Di sisi lain, budaya baru yang membawa dampak positif seperti solidaritas, kebiasaan berbagi, dan semangat gotong royong yang muncul pasca-tsunami juga harus dipertahankan. Solidaritas yang terbangun antara masyarakat lokal dan komunitas internasional adalah pelajaran berharga yang bisa menjadi bagian dari identitas baru Aceh.
Generasi muda memegang peran kunci dalam menjaga kelestarian budaya Aceh. Untuk mewujudkan hal ini, mereka perlu diberikan akses dan ruang untuk belajar tentang budaya lokal.
Pemerintah dan lembaga pendidikan harus memainkan peran aktif dalam memasukkan seni dan budaya tradisional ke dalam kurikulum pendidikan. Selain itu, perlu ada insentif bagi komunitas seni untuk terus berkarya, seperti pendanaan untuk pelatihan, festival budaya, atau dokumentasi seni tradisional.
Pemerintah juga harus melihat seni dan budaya sebagai aset penting dalam pembangunan ekonomi. Pariwisata budaya bisa menjadi salah satu sektor yang dikembangkan untuk memperkenalkan kekayaan budaya Aceh kepada dunia. Namun, pengembangan ini harus dilakukan secara berkelanjutan dan tidak merusak nilai-nilai lokal.
Tsunami telah mengajarkan kepada masyarakat Aceh bahwa ketahanan bukan hanya soal fisik, tetapi juga mental dan spiritual. Seni dan budaya memiliki peran besar dalam membangun ketahanan ini.
Hikayat Aceh, misalnya, tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai media untuk menyampaikan nilai-nilai kehidupan dan membangun rasa kebersamaan. Dengan menghidupkan kembali tradisi seperti ini, masyarakat Aceh bisa menemukan kekuatan baru untuk menghadapi tantangan di masa depan.
Sebagai refleksi dua puluh tahun pasca-tsunami, penting bagi kita untuk melihat budaya sebagai pilar utama dalam membangun kembali Aceh.
Budaya yang baik dari masa lalu harus kita pertahankan, sementara budaya baru yang muncul harus kita seleksi dengan bijak. Dengan begitu, Aceh bisa menjadi contoh bagaimana sebuah masyarakat yang pernah hancur bisa bangkit kembali dengan menjadikan seni dan budaya sebagai fondasi utamanya.
Tsunami mungkin telah menghancurkan banyak hal, tetapi ia juga memberikan peluang bagi masyarakat Aceh untuk memulai kembali.
Dua dekade setelah tragedi itu, saatnya bagi kita untuk menata ulang seni dan budaya yang sempat hilang. Dengan menghormati tradisi lama, membuka diri terhadap inovasi, dan melibatkan semua elemen masyarakat, kita bisa menciptakan budaya Aceh yang tidak hanya relevan dengan zaman, tetapi juga menjadi warisan berharga bagi generasi mendatang.
Mari kita jadikan momen refleksi ini sebagai langkah awal untuk membangun kembali Aceh yang lebih kuat, bermartabat, dan penuh dengan kekayaan seni dan budaya.