BANDA ACEH (RA) – Tim BKSDA Aceh kembali memasang satu unit GPS (Global Positioning System) collar pada individu gajah liar yang menjadi bagian dari kelompok gajah yang beredar di antara wilayah Aceh Utara dan Aceh Timur.
Gajah yang dipasang kalung GPS ini akan memberikan informasi titik koordinat keberadaanya, dan secara otomatis akan menunjukkan lokasinya di dalam peta digital dalam periode yang telah diatur setiap lima jam sekali melalui satelit.
Langkah ini dilakukan dengan beberapa tujuan, selain untuk dapat mengetahui lebih rinci pola pergerakan harian kelompok gajah ini dari waktu ke waktu, sehingga dapat menjadi sistem peringatan dini dalam upaya penanggulangan konflik manusia dan gajah yang dilakukan oleh BKSDA dan pemerintah kabupaten melalui tim CRU (Conservation Response Unit).
“Selain itu, data pergerakan gajah ini akan menjadi informasi penting tentang pola penggunaan ruang oleh kelompok gajah ini, sehingga informasi ini akan berguna bagi Pemerintah Aceh dalam mengatur pola pemanfaatan ruang dan upaya konservasi gajah di masa depan.”
Demikian dikatakan Kepala BKSDA Aceh, Genman Hasibuan, dalam siaran persnya yang diterima redaksi Selasa (2/1) malam.
Menurutnya, GPS collar yang dipasang kemarin merupakan yang ketiga dipasang di Aceh, dan pihaknya menyampaikan bahwa BKSDA Aceh secara bertahap telah merencanakan agar semua populasi utama di Aceh dipasang GPS collar, agar dapat mengetahui secara keseluruhan pola penggunaan ruang oleh populasi gajah di Aceh.
“Dan ini menginspirasi langkah-langkah penanggulangan konflik serta pengelolaan habitatnya bersama pemerintah daerah kabupaten maupun propinsi,” kata dia.
Tim pemasangan GPS collar ini terdiri dari mahout (pawang gajah) beserta gajah terlatih dari PLG dan CRU Cot Girek yang dikepalai oleh Andi Aswinsyah, para dokter hewan yang diketuai oleh drh. Arman Sayuti dan anggota kepolisian dari sektor setempat.
Sehari sebelumnya, pada 30 Desember 2016, tim yang bertugas melakukan pelacakan mengidentifikasi keberadaan kelompok gajah liar. Keesokan harinya,sekira pukul 13.35 WIB, individu yang menjadi target terdeteksi dan berada pada jarak tembak dengan peluru bius.
“Sisa kelompok gajah lainya dijauhkan menggunakan suara mercon sehingga tim dapat melakukan pemasangan GPS collar yang selesai pada pukul 16.00 WIB, lalu dilakukan pemantauan perilaku gajah untuk memastikan bahwa gajah tersebut menerima adanya GPS collar di lehernya,” kata Genman.
Pada pemasangan ini, kata Genman, didukung banyak pihak. Diantaranya tim dari Pusat Kajian Satwa Liar (PKSL)-Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syah Kuala, melalui program Wildlife Ambulance. Unsyiah juga mendukung dengan seorang tenaga ahli yang sedang melakukan penelitian Post Doctoral, yaitu Dr. Gaius Wilson.
“Dalam hal ini kita juga dibantu International Elephant Foundation (IEF), People’s Trust for Endangered Species (PTES) dan International Elephant Project (IEP) melalui kolaborasi dengan Universitas Syiah Kuala,” katanya.
Tri Dharma Perguruan Tinggi
Dekan FKH Unsyiah, Dr. Muhammad Hambal menyampaikan bahwa kerjasama semacam ini adalah wujud dari tanggungjawab Universitas Syiah Kuala dalam menerapkan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
“Meskipun terhitung baru kami luncurkan, program kerjasama wildlife ambulance ini, telah memberikan jasa layanan penanganan medis yang tergolong darurat bagi satwa liar,” katanya.
Baru-baru ini, kata Hambal, pihaknya juga telah memenuhi beberapa permintaan BKSDA Aceh untuk melakukan evakuasi terhadap beberapa beruang madu, gajah dan harimau yang terjerat, juga untuk melakukan identifikasi post mortem terhadap ikan paus sperma yang terdampar di pantai Alue Naga, Banda Aceh beberapa waktu lalu.
“Insya Allah kita mendedikasikan sebuah tim tangguh yang siap bergerak kapanpun untuk merespon kondisi emergency pada satwa liar, terutama satwa liar langka yang di lindungi oleh undang undang RI,” katanya. (ara)