ACEH TAMIANG (RA) – Warga Kampung Rantau Pakam, Kecamatan Bendahara, Kabupaten Aceh Tamiang menggarap hutan produksi mangrove untuk program areal persawahan. Rencananya, lahan yang akan dikelola untuk bercocok tanam padi ini seluas 70 hektare.
Sejauh ini mereka telah menyewa alat berat beko melakukan pematangan lahan. Namun, baru beberapa hari mengerjakan tanggul keliling, aktivitas warga pesisir Bendahara tersebut dihentikan oleh petugas KPH Wilayah III Langsa bersama salah satu LSM pemerhati lingkungan di Aceh Tamiang.
Warga penggarap menyesalkan munculnya pemberitaan miring disejumlah media massa yang menyebut mereka telah merambah hutan mangrove untuk membuka perkebunan kelapa sawit. Warga juga tidak terima soal keberadaan alat berat beko dilapangan dibilang ‘tak bertuan’ dan operatornya lari saat ada petugas datang.
“Yang menyewa alat berat itu kami orangnya, jadi kok bisa dibilang tak bertuan. Hutan produksi itu akan dikelola menjadi sawah masyarakat bukan kebun sawit,” kata sejumlah warga Rantau Pakam sekaligus mengklarifikasi pemberitaan yang terlanjur beredar, dalam temu pers disalah satu warung kopi di Karang Baru, Senin (21/6) malam.
Menurut warga, lahan hutan produksi yang akan digarap sekitar 70 hektare. Lahan ini awalnya masuk wilayah Kampung Cinta Raja. Pada tahun 2002 diserahkan oleh masyarakat Rantau Pakam untuk digarap jadi sawah dengan perjanjian masing-masing KK mendapat 1 hektare.
“Masyarakat yang mendaftar pada waktu itu ada 70 KK, jadi pembagiannya 1 hektare/orang. Untuk menggarap hutan itu kami punya bukti surat sepotong dari datok Cinta Raja yang menjabat saat itu,” terang M Yusuf bersama warga lainnya, Selaman dan Hamzah alias Wak Yong.
Perwakilan warga Rantau Pakam ini menyatakan, untuk mengelola lahan gambut itu warga sudah kumpulkan dana pribadi untuk mendatangkan alat berat. Item yang akan dikerjakan meliputi tanggul/bedengan dan cetak batas pematang sawah ditengah. Namun baru 600 meter mereka kerja buat tanggul timbul masalah.
“Alat berat itu baru kerja empat hari. Kami sudah patungan uang Rp3 juta/orang untuk buat tanggul keliling, yang sudah selesai sekarang baru 600 meter. Kalau tidak ada kendala 20 hari bisa selesai. Selanjutnya nanti kalau mau cetak sawah pakai biaya masing-masing,” ujar Selaman dan Wak Yong.
Datok Penghulu (Kades) Rantau Pakam, Ruslan kepada Rakyat Aceh menyatakan, terkait persoalan ini pihaknya bersama delapan perwakilan warga sudah menghadap bupati Mursil untuk mencari solusi terbaik. “Karena menyangkut kawasan hutan, pascakejadian ini kita akan tempuh jalur koordinasi dengan KPH III Langsa. Dalam waktu dekat kami akan menjumpai Kepala KPH di Langsa. Kita akan ikuti aturan yang berlaku,” sebut Ruslan.
Pihaknya berharap KPH III dapat memberikan izin kepada masyarakat untuk pengelolaan hutan tersebut maskipun hanya pinjam pakai. “Kalau tidak bisa hak milik ya, pinjam pakai pun jadilah. Yang penting masyarakat kami bisa mengelola sawah,” pintanya.
Dalam konferensi pers itu datok Ruslan juga meluruskan tudingan dirinya telah mengkoordinir masyarakat untuk menggarap hutan produksi tersebut. “Penggarapan ini murni keinginan masyarakat sendiri. Mereka berharap bisa punya lahan pertanian untuk menambah penghasilan meski harus dengan biaya sendiri,” bantahnya.
Sebelumnya, LSM LembAHtari melakukan ground check lapangan menemukan satu unit alat berat beko tidak beroperasi ditengah hutan produksi mangrove. LSM lingkungan ini mencatat, kawasam yang dirambah terletak di Kampung Kuala Peunaga, Kecamatan Bendahara pada koordinat N 04’25’06.8” E 098’14’20.5” persis disebelah muara laut ke arah laut Selat Malaka. Diperkirakan perambah yang mengatasnamakan masyarakat ini sudah bekerja sejak tanggal 15 Juni 2020.
“Dan hasil penelusuran LembAHtari diduga oknum masyarakat dan atas nama oknum datok Kampung Rantau Pakam yang memotori kegiatan perambahan tanpa izin ini,” kata Direktur Eksekutif LembAHtari, Sayed Zainal. (mag86/ra)