RAKYAT ACEH | BANDA ACEH – Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh menggelar Meuseuraya (Gotong Royong) di Makam Ulama Syekh Ismail al-Asyi, Desa Empee Trieng, Kecamatan Darul Kamal, Aceh Besar, Jumat (3/2).
Menurut Kadisbudpar Aceh Almuniza Kamal, kisah para ulama yang telah mengharumkan nama Aceh terdahulu perlu dirangkum dalam buku agar tidak hilang tergerus zaman.
“Mendengar cerita kejayaan atau kehebatan para ulama terdahulu, maka kita perlu menulis kisah-kisah ini dalam sebuah cerita buku dan semua ceritanya bukan fiksi, tapi nyata adanya. Saya nanti akan ajak Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Aceh untuk berkolaborasi menyusun buku (kisah) seluruh ulama-ulama Aceh,” ungkapnya.
“Insyaallah, dalam waktu dekat saya akan mengumpulkan tim untuk menyusun buku yang menceritakan kisah beliau (Tgk Chik Empee Trieng). Kita juga akan terus menggali data informasi mengenai history ulama yang telah dimakamkan, seperti asal usul keluarga beliau dan kisah perjalanan beliau, mudah-mudahan dapat segera kita lakukan,” pungkasnya.
Syekh Ismail al-Asyi dikenal sebagai ulama dan penghimpun Kitab Lapan (Kitab Delapan) atau judul asli kitabnya Jam’u Jawami’ al-Mushannafat. Kitab ini masih digunakan di seluruh lembaga pendidikan tradisional di Aceh dan beberapa lembaga agama di nusantara. Kitab Lapan merupakan kumpulan delapan karangan karya ulama Aceh yang membahas tauhid, tasawuf dan etika.
Syekh Ismail juga disebut sebagai penghimpun dan editor Kitab Tajul Muluk (Tajul Mulok) yang di dalamnya juga rangkuman beberapa karya ulama Aceh.
Berdasarkan keterangan M Ridha Ramli (keturunan Syekh Ismail al-Asyi), beliau kembali (dari Mesir) ke Aceh dan berjuang bersama ulama dan pejuang melawan Belanda. Periode tersebut disesuaikan dengan kepemimpinan ulama Aceh seperti Tgk Chik Di Tiro dan Tgk Chik Abbas Kutakarang.
Syekh Ismail meninggal dan dimakamkan di Gampong Empee Trieng, Mukim Biluy, Kecamatan Darul Kamal, Aceh Besar. Oleh karena itu beliau dikenal Tgk Chik Empee Trieng, sebuah gelar yang dinisbah kepada daerah setempat yang umum digunakan oleh banyak para alim ulama tempo dulu dan zaman sekarang.
Perjuangan Tgk Chik Empee Trieng dikenal luas oleh masyarakat pesisir Barat, terutama daerah Lamno sampai dengan Sampoinet, Aceh Jaya. Setelah perjuangan sekitar 30 tahun, beliau kembali ke Empee Trieng untuk melanjutkan Dayah Rangkang Manyang dan menata kembali Masjid Tuha Indrapuri dan dayahnya.
Sekitar tahun 1927, Tgk Chik Empee Trieng sakit dan berpulang ke Rahmatullah. Beliau dikebumikan di Gampong Empe Trieng. Sedangkan Dayah Indrapuri terus berkembang dan menorehkan sejarah pada zamannya. (rif)