RAKYAT ACEH | BANDA ACEH– Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, mempertanyakan keberadaan uang sitaan dalam kasus korupsi di Badan Reintegrasi Aceh (BRA) yang masih belum jelas keberadaannya. Kasus ini terkait pengadaan bibit ikan kakap dan pakan rucah bagi masyarakat korban konflik di Kabupaten Aceh Timur, yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp15,3 miliar.
Saat ini, kasus tersebut telah memasuki tahap sidang putusan terhadap enam terdakwa. Namun, dari total kerugian negara yang telah diaudit oleh inspektorat, kejaksaan hanya menyita sekitar Rp28 juta untuk diperiksa di pengadilan. Sementara itu, sisa Rp15,2 miliar lainnya tidak diketahui keberadaannya.
“Seharusnya, uang hasil sitaan tindak pidana korupsi ini digunakan untuk menutupi defisit anggaran dan mengembalikan kerugian negara, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Rakyat. Jika uang tersebut tidak dikembalikan, tentu akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat,” ujar Alfian dalam keterangannya, Kamis (21/3).
MaTA menilai kejaksaan tidak serius dalam menangani kasus ini, karena uang sitaan yang berhasil dikumpulkan jauh dari total kerugian negara. Hal ini juga dinilai bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut mengatur bahwa kejaksaan memiliki kewajiban untuk melakukan upaya pemulihan atas kerugian negara akibat tindak pidana korupsi.
“Jika kejaksaan tidak dapat menyita uang hasil korupsi yang sesuai dengan nilai kerugian negara, maka kredibilitas institusi ini patut dipertanyakan,” tegasnya.
Alfian juga meminta aparat penegak hukum untuk lebih serius menelusuri aliran dana hasil korupsi tersebut. Hingga saat ini, baru sekitar Rp28 juta yang diketahui bertransaksi di sebuah showroom, sementara miliaran rupiah lainnya belum diketahui keberadaannya.
“Seharusnya, penyitaan dilakukan sebanyak-banyaknya sesuai dengan jumlah uang yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Ini perlu ditelusuri lebih lanjut,” katanya.
Selain itu, ia juga mencurigai adanya keterlibatan pihak lain di luar enam terdakwa yang telah diproses hukum. Menurutnya, ada kemungkinan bahwa uang hasil korupsi ini juga dinikmati oleh pihak ketiga, termasuk elit politik yang belum tersentuh hukum.
“Jika hanya enam terdakwa yang diproses, sementara pihak lain yang menerima aliran dana ini tidak diperiksa, maka penindakan korupsi di Aceh masih belum efektif,” tambahnya.
MaTA menegaskan bahwa dalam kasus-kasus korupsi sebelumnya di Aceh, selalu ada penyitaan uang atau aset hasil korupsi oleh aparat penegak hukum. Uang sitaan ini tidak hanya menjadi alat bukti di persidangan, tetapi juga harus dikembalikan ke kas negara untuk memulihkan kerugian yang timbul.
“Sepanjang pemantauan kami, baru kali ini ada kasus korupsi di Aceh yang uang hasil korupsinya tidak disita secara penuh. Ini menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum,” tandas Alfian.
Oleh karena itu, MaTA mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut lebih lanjut aliran dana hasil korupsi di BRA agar kerugian negara dapat dikembalikan dan memastikan tidak ada pelaku yang kebal hukum. (Mag-01)