RAKYAT ACEH | Banda Aceh — Sebuah drama televisi asal Malaysia berjudul “Bidaah” menuai kontroversi di kalangan ulama dan pemerhati keislaman di Asia Tenggara. Alih-alih memberikan edukasi seimbang mengenai konsep bid’ah, tayangan tersebut justru dinilai menyudutkan kelompok sufi dan menguntungkan narasi Wahabi, khususnya di Indonesia.
Tokoh agama Aceh, Tgk. Umar Rafsanjani, menilai bahwa drama ini sangat berbahaya karena secara tidak langsung menggiring opini publik untuk memandang sinis terhadap simbol-simbol warisan Islam tradisional. “Ini bukan sekadar drama biasa. Ini pembunuhan karakter terhadap para ulama pewaris Nabi. Pakaian sunnah, jubah, sorban, dan laqab ‘Walid’ dijadikan alat untuk menakut-nakuti umat,” ujar Tgk. Umar, yang juga dikenal sebagai pembina Laskar Aswaja Aceh.
Meski berjudul “Bidaah”, isi dari drama ini justru dipenuhi isu miring seperti pernikahan paksa, syahwat, kekerasan, hingga penyimpangan agama, yang semuanya diperankan oleh tokoh-tokoh berjubah ala ulama tarekat. Ini, kata Umar, menjadi pengaburan konsep bid’ah yang seharusnya dibahas secara ilmiah dan adil.
Generalisasi yang Menyesatkan
Tgk. Umar menegaskan bahwa kesalahan individu seharusnya tidak digeneralisasi kepada seluruh kelompok. “Kalau ada oknum ulama yang menyimpang, salahkan dia sebagai pribadi. Jangan lalu menodai seluruh simbol dan atribut kesucian Islam yang telah dijaga para ulama sejak dahulu,” tuturnya.
Ia mengusulkan agar drama semacam itu menghadirkan narasi yang lebih adil dan berimbang. “Kalau ada tokoh fiksi bernama Walid Muhammad Faizal yang jahat, maka harus ada tokoh yang setara pula misal Walid Muhammad Faizul yang benar-benar alim dan lurus dalam syariat. Jadi masyarakat bisa melihat perbandingan yang sehat, bukan penggiringan opini sepihak.” sekarang panggilan Walid sudah jadi bahan olok olok, kan kasian ulama, tokoh dan orang tua yang panggilannya walid jadi tercemar gara gara walid jahat itu.
Narasi Wahabi Diuntungkan
Tgk. Umar menyebut drama ini secara tidak langsung memperkuat propaganda kelompok Wahabi yang memang selama ini kerap menyematkan label sesat kepada siapa pun yang tak sejalan dengan mereka. “Pemahaman bid’ah versi Wahabi sangat menyimpang. Mereka menyamaratakan antara bid’ah, syirik, dan maksiat tanpa dasar yang jelas dari mazhab-mazhab muktabar,” tegasnya.
Menurutnya, kelompok Wahabi di Indonesia mendapatkan keuntungan besar dari drama ini karena ia memperkuat stigma negatif terhadap tasawuf dan tarekat yang merupakan bagian penting dari tradisi keislaman Nusantara.
Imbauan untuk Masyarakat
Di akhir pernyataannya, Tgk. Umar mengimbau masyarakat agar lebih bijak dan selektif dalam menyerap tontonan bertema agama. “Jangan jadikan tokoh fiktif dari drama sebagai rujukan dalam beragama. Kembalilah kepada para ulama pewaris Nabi yang memiliki sanad keilmuan yang jelas dan akhlak yang teruji,” pungkasnya.
Tanggapan Tgk. Umar ini menambah daftar kritik tajam terhadap konten-konten hiburan yang membawa tema keislaman secara sembrono, tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan teologis yang ditimbulkan.