Puluhan ribu pasang mata sejak pagi telah memadati lapangan pacuan kuda H Hasan Gayo, Pegasing, Kota Takengon. Ratusan tenda masyarakat serta pedagang kagetan sudah berdiri di sekeliling arena pacuan yang merayakan HUT Ke 442.
Idris Bendung – Takengon
Matahari memang terik. Udara hanya sedikit terasa sejuk. Debu berterbangan. Mungkin saja, hujan kurang turun di dataran tinggi Gayo itu. Namun, yang pasti pacuan kuda berjalan sukses.
Grand Final, Minggu. 60 kuda bersama joki tampil maksimal. Tentu saja di bagi dalam 14 race.
Aman Lukman datang dari Pondok Baru. Kabupaten Bener Meriah yang sebelumnya bersatu dengan Kabupaten Aceh Tengah. “Belasan tahun sudah saya tetap datang nonton pacuan kuda. Masih lajang hingga sudah berkeluarga,” katanya, Minggu (3/3).
Ini tradisi dari orang tua saya yang membawa nonton pacuan kuda bila perayaan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia. Dahulu lapangan dekat kantor bupati sekarang, tambah Aman Lukman.
Lain lagi halnya dengan Sakdiah. Kata ibu satu anak ini menyebutkan nonton pacuan kuda sepertinya hal keharusan bagi warga Gayo. “ Sejak kecil saya sama keluarga pasti nonton pacuan kuda. Paling tidak sekali dalam setiap perlombaan.
Sepertinya bila tidak nonton justru diri kita malu dengan tetangga. Ya, kurang menghargai hiburan tradisional kita lah. Walau itu bukan berbentuk tarian,” kata.
*Aroma Magic
Pacuan kuda memang olahraga. Hanya saja, aroma magic masih terasa di arena. Kok bisa ? Tentu saja, bau kemenyan kawasan istal kuda di belakang atau sekitar panggung utama membangunkan bulu kuduk.
Terlebih lagi memasuki masa grand final seperti hari Minggu ini. Kuda-kuda dijaga ketat pemilik dan anak penjaga. Baik itu makanan kuda maupun minumannya. Khusus diberikan orang terpercaya.
Asap rokok berbau kemenyan juga disembur ke kepala kuda. Ada yang bilang agar sang pelari kencang ini tidak diganggu orang lain.
“Bisa saja kuda larinya tidak sesuai jalur. Bahkan, kuda tidak mau lari. Ini ciri-ciri kuda yang sudah kena magic,” kata pengunjung berusia 48 tahun asal Bintang. (mai)