class="wp-singular post-template-default single single-post postid-138997 single-format-standard wp-custom-logo wp-theme-kobaran" >

Menu

Mode Gelap
Prajurit TNI Ikut Tes Samapta Jasmani di Korem Lilawangsa  Selama 5 Tahun,  Ada 9 Kasus Destructive Fishing di Aceh  Ketidakharmonisan Dewan dan Pemkab Pidie Jaya Dapat Menghambat Pembangunan Sah, Ujian Tes Seleksi P3K Digelar di Pulau Simeulue  Prof Herman Dukung Wacana Penambahan 4 Batalyon Teritorial di Aceh

UTAMA · 2 May 2025 14:35 WIB ·

Pendidikan Karakter di Era Krisis Moral


 Pendidikan Karakter di Era Krisis Moral Perbesar

Oleh: Anita,M.Pd*

Tanggal 2 Mei bukan hanya peringatan Hari Pendidikan Nasional, tetapi juga momentum refleksi atas wajah pendidikan kita hari ini. Di tengah derasnya arus globalisasi, kemajuan teknologi, serta kebebasan informasi yang luar biasa, kita justru menyaksikan fenomena yang mengkhawatirkan: krisis moral yang melanda berbagai lapisan masyarakat, terutama generasi muda. Perundungan di sekolah, intoleransi, kekerasan remaja, hingga degradasi sopan santun menjadi sorotan tajam yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Hal ini menggugah satu pertanyaan besar: di manakah posisi pendidikan karakter dalam sistem pendidikan nasional kita saat ini?

Pendidikan Karakter: Definisi dan Urgensi

Pendidikan karakter adalah proses pembentukan nilai-nilai luhur dalam diri peserta didik, agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang berintegritas, bertanggung jawab, jujur, disiplin, dan peduli terhadap sesama. Karakter bukanlah sesuatu yang otomatis terbentuk dari pengetahuan atau kecerdasan semata, melainkan dari proses panjang yang melibatkan keteladanan, pembiasaan, dan penginternalisasian nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari.

Urgensi pendidikan karakter semakin tinggi ketika kita menyadari bahwa tantangan masa depan tidak hanya terletak pada kemampuan akademik, tetapi juga kemampuan sosial dan emosional. Kemampuan untuk bekerja sama, menghargai perbedaan, mengelola emosi, dan memiliki empati, adalah pondasi dari masyarakat yang damai dan beradab.

Krisis Moral: Fenomena dan Akar Masalah

Belakangan ini kita sering membaca berita tentang perilaku menyimpang anak-anak dan remaja. Di sekolah, tindakan perundungan kerap terjadi, bahkan diviralkan di media sosial tanpa rasa bersalah. Di lingkungan keluarga, banyak anak yang kehilangan arah karena minimnya perhatian dan pengasuhan yang tepat. Di masyarakat luas, kekerasan antar pelajar, pelecehan seksual, serta penyalahgunaan teknologi digital menjadi fenomena sehari-hari.

Krisis moral ini tidak datang tiba-tiba. Ia tumbuh dari akar masalah yang kompleks. Pertama, kurangnya keteladanan dari orang dewasa di sekitar anak-anak, baik di rumah maupun di sekolah. Ketika anak melihat perilaku negatif ditoleransi atau bahkan dicontohkan oleh orang tua atau guru, maka mereka cenderung menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar.

Kedua, sistem pendidikan yang lebih menekankan pada capaian kognitif dan nilai akademik, ketimbang pembentukan karakter. Ketiga, pengaruh media dan teknologi yang tidak terkontrol. Anak-anak yang terlalu sering terpapar konten negatif tanpa pendampingan akan mudah menyerap nilai-nilai yang salah.

Pendidikan Karakter: Masihkah Sekadar Wacana?

Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah telah menggaungkan pentingnya pendidikan karakter melalui berbagai kebijakan, seperti Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dan Merdeka Belajar. Namun dalam praktiknya, pendidikan karakter masih sering dipahami secara sempit, terbatas pada kegiatan seremonial atau mata pelajaran tertentu.

Di banyak sekolah, kegiatan seperti upacara bendera, doa bersama, atau pengajian rutin dianggap sudah cukup sebagai sarana pembinaan karakter. Padahal, pendidikan karakter semestinya menjadi ruh dari seluruh proses pembelajaran, bukan sekadar pelengkap. Ia harus hadir dalam interaksi guru dan murid, dalam manajemen kelas, bahkan dalam cara menyelesaikan konflik sehari-hari.

Peran Guru dan Sekolah sebagai Agen Moral

Guru adalah sosok sentral dalam pendidikan karakter. Lebih dari sekadar penyampai ilmu, guru adalah teladan moral bagi peserta didik. Sikap jujur, adil, empatik, dan sabar seorang guru akan membekas lebih dalam daripada sekadar ceramah tentang nilai-nilai itu sendiri.

Namun, dalam realitasnya, tidak semua guru merasa memiliki peran atau kesiapan dalam mendidik karakter. Banyak guru yang terjebak dalam beban administrasi dan tekanan nilai akademik, sehingga aspek moral sering kali terabaikan. Untuk itu, diperlukan pelatihan dan pembinaan yang berkelanjutan, agar guru dapat menjadi agen perubahan yang efektif.

Sekolah pun harus menciptakan iklim yang kondusif bagi pendidikan karakter. Sekolah yang sehat secara moral adalah sekolah yang menegakkan aturan dengan adil, mengapresiasi perilaku positif, dan memberikan ruang dialog bagi siswa untuk mengekspresikan pendapat mereka secara terbuka.

Kolaborasi Keluarga dan Masyarakat

Pendidikan karakter tidak bisa hanya dibebankan kepada sekolah. Keluarga adalah lembaga pertama dan utama dalam pembentukan karakter. Sayangnya, banyak orang tua hari ini terlalu sibuk dengan pekerjaan, atau menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab mendidik anak pada sekolah. Bahkan, dalam beberapa kasus, keluarga justru menjadi sumber konflik atau tekanan bagi anak.

Oleh karena itu, kolaborasi antara sekolah dan orang tua harus diperkuat. Komunikasi dua arah, pelibatan orang tua dalam program pendidikan, serta edukasi parenting berbasis nilai sangat penting untuk memastikan keselarasan antara nilai yang diajarkan di rumah dan di sekolah.

Masyarakat pun memiliki peran strategis. Media, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat, hingga pemerintah daerah harus bersama-sama menciptakan lingkungan yang mendukung penguatan nilai-nilai moral. Media sosial, misalnya, perlu diarahkan untuk menjadi sarana edukasi dan keteladanan, bukan ajang pamer atau penyebaran konten negatif.

Menuju Pendidikan yang Berkarakter dan Bermakna

Untuk menjawab krisis moral yang kita hadapi, pendidikan karakter tidak boleh lagi dipinggirkan. Ia harus menjadi jantung dari proses pendidikan nasional. Beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan antara lain:

1. Integrasi nilai karakter dalam seluruh mata pelajaran dan aktivitas sekolah.

2. Pelatihan guru dalam pendekatan pembelajaran berbasis nilai dan sosial-emosional.

3. Penilaian karakter yang otentik, berbasis observasi dan refleksi, bukan sekadar formalitas.

4. Penguatan budaya sekolah yang positif, ramah, dan inklusif.

5. Keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam proses pendidikan yang konsisten dan sinergis.

 

Penutup

Pendidikan bukan sekadar mencetak lulusan pintar, tetapi juga membentuk manusia yang utuh—cerdas secara intelektual, matang secara emosional, dan tangguh secara moral. Di tengah krisis moral yang meresahkan, pendidikan karakter harus kembali menjadi prioritas. Peringatan Hari Pendidikan Nasional ini harus menjadi titik balik untuk mengevaluasi arah kebijakan pendidikan kita. Mari kita kembalikan esensi pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia, membangun peradaban, dan menyiapkan generasi penerus yang tidak hanya mampu bersaing, tetapi juga mampu menjadi pribadi yang berintegritas dan berakhlak mulia.

Selamat Hari Pendidikan Nasional. Semoga semangat Ki Hajar Dewantara terus hidup dalam setiap langkah pendidikan kita. (ra)

 

* Penulis adalah Guru SMP Negeri 17 Kota Banda Aceh

Artikel ini telah dibaca 75 kali

badge-check

Penulis

Comments are closed.

Baca Lainnya

Nazaruddin Dek Gam Ditunjuk jadi Ketua DPW PAN Aceh

3 May 2025 - 13:56 WIB

Selama 5 Tahun,  Ada 9 Kasus Destructive Fishing di Aceh 

2 May 2025 - 19:17 WIB

Sahuti Instruksi Gubernur, Kepala DPMPTSP Aceh Galang Bantuan Kemanusiaan Buat Palestina

2 May 2025 - 14:08 WIB

Gubernur Aceh Muzakir Manaf dalam Kondisi Sehat dan Baik

1 May 2025 - 22:04 WIB

Benarkah Wabup Pidie Jaya Berkonflik Dengan Dewan?

30 April 2025 - 16:03 WIB

Haji Uma Minta Rencana Pembangunan Empat Batalyon TNI di Aceh Dikaji Ulang

30 April 2025 - 15:28 WIB

Trending di UTAMA