OLEH: DR. Abizal Muhammad Yati, Lc, MA
Taqwa merupakan sebuah gelar istimewa yang Allah berikan kepada seseorang yang
telah menjalani serangkaian ibadah dengan sempurna, tidak semua hamba yang menjalankan ibadah berhak mendapat gelar taqwa ini. Gelar ini bukanlah pengakuan seoarang hamba yang mengatakan dirinya bertaqwa, namun ini merupakan benar-benar sebuah hasil dari implementasi ibadah yang Allah perintahkan yang tercermin dalam pribadi seseorang.
Setiap ibadah yang Allah embankan kepada manusia terdapat capai-capaian yang akan diperoleh setelah ibadah tersebut dilaksankan secara sempurna, termasuk salah satu harapan tersebut adalah agar seseorang menjadi hamba Allah yang bertaqwa. Al-Qur’an memaparkan dalam banyak ayat tentang tujuan-tujuan disyariatkan sebuah ibadah kepada manusia untuk memeproleh derajat taqwa, secara umum Allah jelaskan seperti ayat berikut:
Artinya:Wahai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan menciptakan
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa (QS. Al-Baqarah: 21).
Secara khusus dalam Al-Qur’an Salah satu bentuk ibadah yang menjadi harapan akhir
bagi yang menjalankannya mendapat gelar taqwa adalah ibadah puasa: Artinya: Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu untuk berpuasa
sebagaimana yang telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu
bertaqwa (QS. Al-Baaqarah:183).
Bila kita memperhatikan kedua ayat tersebut di atas terdapat diujung ayat tersebut
lafaz ????? / la’alla yang memilki dua arti dalam bahasa Arab ta’lil (alasan) atau tarajji. Maka dengan makna ta’lil dapat kita artikan bahwa alasan diwajibkannya sebuah ibadah adalah agar orang yang menjalankkannya mencapai derajat taqwa. Sementara makan tarajji, dapat kita artikan bahwa orang menjalankan ibadah tersebut berharap dengan perantaraan ibadahnya ia dapat menjadi orang yang bertaqwa.
Pertanyaan yang mendasar yang harus kita jawab dalam diri kita masing-masing
adalah berapa lama sudah kita menjalankan ibadah kepada Allah? dan sudahkah ibadah-
ibadah yang kita jalankan tersebut menjadikan kita sebagai orang yang bertaqwa! Dan
Pertanyaan ini patut kita jawab, mengingat sudah bertahun-tahun lamanya kita beribadah
1 As-Suyuthy, Al-Itqan fi ‘ulumil Qur’an, hal. 504.
kepada Allah dan sudah banyak kita menjalankan perintah-perintah Allah seperti shalat,
puasa, haji dan sebagainya namun belum membawa kita menjadi orang bertaqwa.
Taqwa merupakan harapan yang harus ditanamkan oleh setiap hamba yang
menjalankan ibadah, karena taqwa merupakan derajat yang palig mulia yang diberikan Allah kepada manusia:
Al-Qur’an sebagai petunjuk Allah yang sangat sempurna memberi penjelasan yang
komplit kepada kita tentang karakteristik orang-orang yang bertaqwa, sebagaimana tertuang dalam surat Ali imran ayat 133-136. Mari kita mengkaji secara lebih spesifik sebagai bahan renungan bagi diri kita masing-masing sudahkah kita termasuk diantara salah satu karakreristik orang yang bertaqwa yang Allah sebutkan dalam ayat Al-Qur’an berikut:
Artinya: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Dan (juga) orang- orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri 2 , mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui.
Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal. (QS. Ali Imran: 133-136).
Yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) ialah dosa besar yang mana mudharatnya tidak Hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, riba. menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang mana mudharatnya Hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil. (Al-Qur’an dan Terjemahannya).
Dalam ayat tersebut di atas dijelaskan 4 karakteristik orang yang bertaqwa, inilah
yang akan kita uraikan sebagai berikut:
1. menginfakkan harta diwaktu senang dan susah
Islam adalah agama yang mendorong umatnya untuk mewujudkan kepeduliaan
kepada sesama dalam bentuk apapun, untuk merealisasikan hal tersebut Allah dan RasulNya menganjurkan untuk berinfaq. Infaq yang dimaksud adalah mengeluarkan harta secara sukarela kepada yang membutuhkan dari kalangan fakir miskin ,anak yatim dan lainya, termasuk juga mengeluarkan harta untuk kepentingan agama Islam.
Islam menggolongkan infaq sebagai salah satu bentuk ibadah ghairu mahdah yang
dianjurkan oleh Allah dalam Al-qur’an:
Artinya: Dan Infakkanlah sebagian dari apa yang Telah kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu… (QS. Al-Munafiqun: 10).
Tentunya bagi orang-orang yang mengindahkan akan anjuran Allah ini akan
mengeluarkan apa yang mereka miliki dalam keadaan apapun. Jika ini berterusan mereka
lakukan maka mereka akan termasuk dalam satu diantara orang-orang yang disebutkan oleh
Allah sebagai orang bertaqwa.
Artinya: (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit Ibnu Katsir menjelaskan yang dimaksud mengifakkan fi Sarra’ dan Dharra’ yaitu
mereka yang mengeluarkan harta diwaktu lapang dan sempit, diwaktu bersemangat dan
diwaktu tidak bersemangat (untuk bersedekah), diwaktu sehat dan sakit dan dalam semua
keadaan.
Keikhlasan hati mereka untuk berinfaq tanpa melihat waktu, tempat dan keadaan
tentunya tidak disia-siakan oleh Allah, sehingga Allah menggolongkan diri mereka sebagai
orang yang bertaqwa. Untuk bisa memiliki sifat mudah memberi bukanlah hal yang mudah,
kecendrungan manusia mau memberi jika ada imbalan yang akan diterima kembali, atau jika ada pujian atau sanjungan dari manusia, maka hal ini membuat diri mereka tidak konsisten dalam berinfaq, sehigga banyak kita temukan kedermawanan seseorang hanya pada waktu dan keadaan tertentu saja, jika ini yang terjadi maka tidakah termasuk dalam karakteristik orang yang bertaqwa yang telah Allah sebutkan tersebut.
Lihat bagaimana bentuk infaq Rasulullah pada setiap keadaan, tidaklah seseorang
meminta sesuatu kepadanya melainkan ia memberinya, dan jika tidak punya sesuatu maka inilah apa yang disampaikan Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘azim, Maktabah Syamilah, hal. 67.
Menjanjikan untuk memberikan pada hari yang lain. Ketika Rasululah sakit menjelang
wafat, beliau menyimpan uang sebanyak 7 dinar kepada Aisyah, lalu Rasulullah menyuruh
Aisyah untuk menginfakkan uang tersebut, dan tidak ada uang lain yang tersisa di rumah
Rasulullah. Inilah Rasulullah sebagai contoh orang yang bertaqwa dengan terus berinfaq di jalan Allah dalam keadaan apapun dan dimanapun.
Menahan marah
Marah merupakan suatu bentuk emosi yang memang lumrah atau alami ada pada
setiap manusia, namun wujudnya berbeda-beda, terkadang memuncak tinggi tanpa sadar diri sehingga mengeluarkan suara tinggi bahkan sampai pada tingkat menggunakan kekuatan fisik memecahkan benda-benda, memukul, menampar orang yang didekatnya sehingga hilang kontrol diri. Terkadang pula datang tanpa sebab, sedikit-sedikit marah. inilah wujud marah yang tercela yang sangat dilarang dalam Islam.
Imâm al-Ghazâlî menjelaskan bahwa marah adalah nyala api neraka Allah Swt. yang
menjilat hingga ke relung hati. Orang yang tidak mampu menahan amarahnya identik dengan orang yang telah menggeser perilakunya pada perangai setan yang memang diciptakan dari api.
Oleh Karena itu, kemampuan mengendalikan nafsu amarah dipandang penting oleh
agama. Sangat penting mengendalikan marah bagi seseorang, sehingga Allah memposisikan mereka diantara salah satu bentuk tanda-tanda orang yang bertaqwa:
Artinya: dan orang-orang yang menahan amarahnya Rasulullah menasihatkan dan mewasiatkan kepada seluruh umatnya untuk mampu menahan amarah, sebagaimana dalam sebuah hadits:
Abu Hurairah RA berkata: Ada seseorang datang menemui Nabi SAW seraya berkata:
“Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kamu
marah.” Beliau mengulanginya berkali-kali, dengan berkata: “Janganlah kamu marah,” (HR. Bukhari, no 6116). Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan: “Orang ini datang menemui Nabi SAW untuk meminta kepada beliau wasiat yang ringkas tetapi mencakup seluruh perangai kebaikan. Muhammad Yusuf al-Kandahlawy, Hayatus Sahabah, (Kairo: Daarul Manar, 2003), hal. 103.
Karena memang dia ingin menghafalnya dan khawatir bila terlalu panjang tidak dapat
mencerna wasiat beliau. Nabi SAW mewasiatkannya agar tidak marah dan mengulang wasiat itu berkali-kali, semua ini menunjukkan bahwa marah itu kunci kejelekan dan menahan diri dari marah kunci seluruh kebaikan.
Disamping itu pula perlu diketahui bahwa menahan marah merupakan sifat terpuji
dan mulia, sehingga Allah memberi balasan tinggi dalam surga. Rasulullah Saw bersabda:
Barangsiapa yang menahan amarahnya sedangkan ia mampu untuk mewujudkannya, Allah
akan menyebut dan memujinya pada hari kiamat kelak di hadapan seluruh makhluk, hingga dia diberi pilihan untuk mengambil bidadari mana saja yang ia kehendaki (HR. Tirmizi, no. 2021)
Memaafkan kesalahan manusia
Tidaklah mudah memiliki sifat pemaaf, terlebih-lebih lagi jika dalam jiwa seseorang
terdapat sifat meninggikan diri, mereka merasa rendah jika dengan mudah memaafkan
kesalahan orang lain begitu saja, mereka menginginkan orang lain datang kepadanya dalam keadaan sembah sujud dihadapannya untuk meminta maaf, namun terkadang ia tetap juga tidak memaafkan kesalahan orang lain meskipun dia sudah dimuliakan layaknya seorang raja. Dengan berbangga hati terus menyimpan kesalahan orang lain tanpa memberi celah sedikitpun untuk memaafkannya.
Perlu diketahui bahwa Sifat pemaaf merupakan sifat terpuji yang harus dimiliki setiap
manusia, suka memaafkan kesalahan orang lain menunjukkan bahwa seseorang memiliki hati yang lembut dan jiwa yang mulia. Karena mulianya sifat ini sehingga Allah menggolongkan mereka yang memiliki sifat ini sebagai salah satu tanda orang yang bertaqwa.
Artinya: dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Allah sangat menganjurkan untuk saling meminta maaf dan berlapang dada untuk
memaafkan kesalahan orang lain, membuka pintu maaf merupkan jalan terbukanya ampunan Allah Swt. Jika seseorang suka memaafkan orang lain meskipun dirinya dalam posisi disakiti dan atau dizalimi maka Allah akan mengampun dosanya. Artinya: 22. dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. apakah kamu tidak ingin
bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. An-Nur: 22). Ibnu Rajab Al-Hanbaly, jami’ul ‘ulum walhikam, Jilid 1, hal. 362.
Lihat bagaimana Rasulullah Saw yang sangat besar jiwa pemaafnya, beliau
memaafkan setiap kesalahan orang lain, meskipun beliau disakiti dan dianiaya. Diriwayatkan
dari Anas, “Aku berjalan bersama Rasulullah, beliau memakai kain sorban tebal buatan
Najran yang beliau lilitkan di lehernya. Tiba-tiba ada orang desa menarik sorban tersebut
dengan keras dan kasar, sehingga aku melihat bekasnya di bahu beliau. Lalu orang itu
berkata, ‘Wahai Muhammad! Berilah padaku harta Allah yang ada padamu!’ Rasulullah
menoleh dan tertawa, kemudian menyuruh untuk memberi uang pada orang tersebut” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Bertaubat ketika melakukan dosa
Terus bertaubat dan meminta ampun dari dosa ketika melakukan dosa merupakan
karakter orang bertaqwa. Apabila mereka melakukan dosa atau kesalahan, lalu mereka ingat kepada Allah dan memohon ampun kepada Allah Swt atas dosanya, dan mereka sangat berharap agar dosa-dosa mereka diampunkan oleh Allah.
Artinya: Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah.
Banyak manusia yang tidak sedikitpun rasa takut dalam dirinya ketika melakukan
dosa dan sama sekali mereka tidak ingat kepada Allah, dengan bebasnya melakukan dosa
sehingga tidak ada rasa dalam diri mereka untuk memohon ampun dan bertaubat kepada
Allah. Sangat beruntunglah jika seseorang cepat menyadari akan kesalahan mereka dan
bersegra untuk memohon ampun kepada Allah. Artinya: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (QS. Ali Imran: 133).
Bersegra untuk mendapat ampunan Allah, tentunya bagi mereka yang ingat akan
kehadiran Allah ketika melakukan dosa, menyadari bahwa Allah melihat perbuatan dosa yang merkea lakukan, sehingga timbul rasa takut dalam diri mereka dihadapan Allah dan dengan seketika pula merke memohon ampun kepada Allah. inilah satu perbuatan terpujii yang harus dimiliki setiap seseorang, seseorang yang memiliki sifat seperti ini maka Allah akan memberikan ampunan yang luas kepada mereka.
Perlu juga menjadi catatan penting yang harus kita ingat, bahwa sifat orang yang
bertqwa yang Allah kaitkan dengan bersegra meminta ampun kepada Allah ketika melakukan dosa adalah bagi mereka yang tidak kembali kepada dosanya dan tidak larut pula dalam dosanya. Allah memberikan sebuah peringatan bagi kita diujung ayat tersebut sebagai syarat diampunkan dosa-dosa mereka dengan ungkapan Artinya: dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui Ini merupakan salah satu sayarat diterimanya akan taubat mereka, dimana mereka meninggalkan dosa secara totalitas dan tidak kembali mengulang dosa yang pernah mereka lakukan. Maka dapat kita simpulkan bahwa mereka yang yang dikatagorikan sebagai orang yang bertaqwa adalah mereka yang bertaubat dari semua dosanya dengan sebenar-benarnya
dengan penuh rasa sadar, penyesalan yang mendalam dan tidak mengulang kesalahan yang sama.
Inilah 4 karakteristik orang-orang yang bertaqwa yang Allah sebutkan, mari kita
mencermati karakteristik tersebut sebagai bahan evaluasi terhadap diri kita, sudahkan kita
termasuk diantara orang-orang yang bertaqwa. Sangat beruntunglah jika terdapat dalam diri kita salah satu diantara karakteristik tersebut, dan mari kita memperbaiki ibadah dan amal shaleh kita jika memang kita belum termasuk diantara sifat orang yang bertaqwa yang Allah sebutkan tersebut.
Penulis adalah Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikas UIN Ar Ranirya Banda Aceh.
Ket foto:
DR. Abizal Muhammad Yati, Lc, MA